Friday, May 2, 2008

Nancy Go: Go Global Dengan Bagteria

Perempuan itu menyenangi kedetilan, kerumitan dan elegansi dari sebuah produk. Tas tangannya yang terbuat dari berbagai komponen manik-manik, barang langka dan bebatuan dari berbagai negara itu disatukan dalam sebuah konsep tas tangan, Bagteria. Anda yang melafalkan Bagteria mungkin baru pertama kalinya mendengar ada tas tangan produk Indonesia dimiliki oleh orang Indonesia juga tapi bergaung diantara para artis yang berlenggok diatas karpet merah Hollywood. Paris Hilton, Emma Thompson dan Anggun C. Sasmi hanya sederet nama pengguna tas tangan Bagteria. Tersebar disekitar 30 negara, Bagteria terdistribusikan.

Adalah seorang Nancy Go yang berada dibalik kebesaran nama Bagteria. Suaminya, Bert Ng juga berperan besar dalam distribusi Bagteria. Mengapa disebut Bagetria? “Itu nama pemberian suami saya. Supaya kesannya humor saja. Mudah-mudahan seperti bakteri yang mewabah,”ujar perempuan kelahiran Brazil tahun 1963 itu terkekeh. PT. Metamorfosa Abadi menjadi perusahaan yang menaungi Bagteria. Modal awal mendirikan PT. Metamorfosa Abadi sebagai perusahan yang menghasilkan Bagteria adalah sekitar 300 juta.

Dibutiknya di lantai dasar Plaza Indonesia, pasangan tersebut bercerita bagaimana mendirikan Bagteria. Semuanya bermula dari kesenangan Nancy membuat kerajinan tangan seperti sulam menyulam dan merajut. Misi mereka berdua sebetulnya adalah ingin mengenalkan produk Indonesia ke kalangan internasional. Bagteria mulai diproduksi sejak tahun 2000. Jumlah karyawan saat itu hanya 5 orang. Mereka menyewa satu rumah untuk produksi yang terletak diseberang rumah mereka.

Akhirnya rumah produksi bertambah menjadi tiga, berdiri berderetan. Karena produksi bertambah dan semakin banyak orang tertarik, mau tak mau Bagteria perlu mendapatkan display tempat yang lebih pantas. Baru pada akhir tahun 2000, PT. Metamorfosa Abadi, perusahaan yang menaungi Bagteria membuka butik di Plaza Senayan. Sekarang butik di Plaza Senayan sudah ditutup dan digantikan butik di Plaza Indonesia dan Alun-Alun Indonesia, Grand Indonesia. Semua produk didesain oleh Nancy sendiri. Namun seiring berkembanganya produk, Nancy membentuk tim desain.

Pasar dalam negeri sendiri cukup meriah menyambut kedatangan Bagteria. Sejak akhir tahun 2000, Bagteria udah hadir di Plaza Senayan. Namun baik Nancy maupun Bert tidak menampik banyak yang melabelkan Bagteria sebagai barang mahal. Klien mereka seperti artis Indonesia, para pengusaha dan pejabat.

Mereka mengakui bahwa tidak mudah “mengambil hati” kalangan internasional. Terutama di Jepang. “Sekali you telat kirim (barang) dan kualitas tidak terjamin, wah sudah jangan harap lagi,”jelas Bert, suami Nancy dengan logat Singapura yang kental. Konsistensi kualitas dari produk merupakan hal terpenting supaya bisa diterima dikalangan masyarakat internasional.

Hongkong merupakan destinasi awal Bagteria dipasarkan. Kenapa Hongkong? “Untuk pasaran fashion di Asia pakarnya adalah Hongkong,” jelas Ibu dari Brendan, Brenda dan Bryna Ng, itu. “Kami tidak mempunyai kenalan siapapun di luar negeri,”ulas Nancy meyakinkan SWA terhadap pencapaiannya pada jalur internasional. Tapi dengan pengetahun mereka terhadap butik mana saja yang berpotensi untuk penjualan Bagteria, maka mereka bisa bekerja sama.

Jepang negara yang terkenal sebagai salah satu pusat berkumpulnya para fashionista dunia justru menjadi kota tujuan pemasaran selanjutnya. “Tidak mudah masuk Jepang,”lanjut Nancy jebolan Bunka School Of Fashion dan Akademi kesenian Jakarta itu.

Pengetahuan Nancy dan Bert terhadap beberapa butik terkenal di Hongkong, memudahkan mereka bekerja sama dan memasukkan Bagteria di butik sekaligus sebagai distributor. “Kita tidak menjual pada end user. Sampai sekarang Bagteria hanya menjual ke berbagai distributor yang tersebar di berbagai benua. Kecuali di Taiwan kami ada partner,”jelas Nancy. Di Sogo Taiwan ada franchisee Bagteria. PT. Metamorfosa hanya menjual pada distributor. Distributor itulah nantinya yang akan menyalurkannya pada butik-butik. Mereka tidak menjual pada konsumen akhir atau end user

Setelah masuk ke Hongkong, berturut-turut order berdatangan dari negara lain. Pada tahun 2003 Bagteria masuk kepasaran Jepang menggunakan jalur pameran sebagai wahana mengenalkan produknya pada masyarakat. Disitulah ada distributor Jepang yang tertarik memasarkannya. Akhirnya Bagteria setidaknya setahun sekali mengadakan pameran diberbagai negara. Bisa dipastikan setiap tahun mereka pameran untuk tema musim berikutnya, musim panas, gugur, dingin dan semi. Setiap musimnya selalu ada tema yang menjadi tema Bagteria. Karena itulah Bagteria selalu memproduksi barang untuk beberapa bulan kedepan.

Bert, suaminya yang sebelumnya menjadi konsultan sebuah perusahaan lebih berkonsentrasi mengurusi bisnis dan pemasaran Bagteria. Sedangkan Nancy banyak mengurusi desain dan pengembangan produk.

Masyarakat Indonesia, menurut Nancy masih terseret dalam pemikiran bahwa segala sesuatu itu bergantung harganya. Jikalau ada harga sebuah tas yang jauh melesat diatas rata-rata harga tas produk Indonesia lainnya, seringkali tidak laku dipasaran. Itulah mengapa sedari awal Nancy dan Bert berorientasi memasarkan produknya untuk ekspor. Satu tas rata-rata dikerjakan selama dua minggu. Karena Nancy senang dengan kedetilan, maka Bagteria dibuat dengan tangan. Apalagi manik-manik, bebatuan atau hiasan aksesoris lainnya berdiameter ukuran milimeter tersebut harus dijahit satu persatu. Tapi sejak akhir tahun 2000, mereka mulai melirik pasar dalam negeri. Permintaan mulai banyak.

Dengan segala kedetilan dan bahan baku yang dibuat itulah harga ditetapkan. Semakin rumit detil Bagteria, maka akan semakin tinggi harganya. Harga yang melambung tinggi salah satunya disebabkan karena bahan baku yang didapatkan dari berbagai negara. Sebut saja gading Mammoth atau gajah purba yang didapatkan dari Siberia, kulit ikan yang didatangkan dari Iceland, kristal Swarovski dan lainnya.

Lalu mengapa bahan bakunya diambil dari berbagai negara? “Karena saya suka tantangan. Saya ingin berbeda dari lainnya,”jelasnya. Itulah keunggulan yang bisa ditonjolkan dari Bagteria tersebut. Misalnya seperti glass beads atau mote dari kaca. Tapi sekarang glass beads sudah bisa didapatkan di Indonesia. Sekarang produk Bagteria sudah berkolaborasi dengan para pengrajin lokal.

“Kadang -kadang saya bertanya pada diri sendiri: “Mereka sadar ngga ya kalau dalam satu tas ini terdiri dari banyak barang (bahan baku) dari beberapa negara,”ulasnya. Teknik sulam yang berbagai macam dan material yang sangat kecil itulah yang memakan waktu pengerjaan lama. Nancy memperkirakan bahwa dalam pembuatan satu tas bisa menghabiskan puluhan jarum yang patah. “Bagi saya ada suatu kepuasan jika dikerjakan dengan tangan. Detil-detil yang dimiliki oleh Bagteria ngga mungkin dikerjakan dengan mesin,”ulasnya. Kemudian Bert melanjutkan: ”Makanya saya selalu bilang sama karyawan saya, didalam satu tas ini ada air mata dan darah,” Bert mencoba berfilosofi.

Setiap jenis dan warna jumlahnya sangat terbatas, yaitu 299 buah. Tapi ada beberapa produknya memang sengaja dibuat sangat terbatas, hanya berjumlah 3 buah untuk seluruh dunia. Ketika SWA memagang tas tersebut, terasa sekali bagaimana manik-manik atau bebatuan dan perhiasan dijahit dengan kehati-hatian.

Foxglove, tas yang pernah dipakai oleh Paris Hilton tersebut merupakan satu diantara tiga produk Bagteria sejenis. Harganya mencapai Rp. 8,9 juta. Foxglove dipajang diatas etalase. Disisinya terdapat katalog yang mencakup foto beserta keterangan nama seri model Bagteria. Katalog tersebut sekaligus juga memuat tentang foto Paris Hilton mengaitkan Bagteria dilengannya pada acara Fashion week di New York, Amerika Serikat. Sedangkan pada warna berbeda dengan jenis Bagteria yang sama, terlihat Anggun C. Sasmi menjinjing Bagteria ketika menghadiri Festival Cannes.

Keunikan Bagteria akhirnya terkenal sampai ke penjuru dunia. Setidaknya beberapa rumah mode internasional menawarkan diri memasarkan Bagteria untuk dijual dinegara masing-masing. “Pernah kami ditawari agar mengubah nama Bagteria dengan nama yang berbau Italia atau menambahkan embel-embel Italia dibawah nama Bagteria. Tapi kami menolaknya,”ulas Bert. Sedari awal pasangan itu memang sudah berniat mempromosikan Bagteria sebagai produk buatan Indonesia. Mereka tidak mau kehilangan kelokalan nya. “Tapi ternyata dengan tidak ada embel-embel Italia tersebut, menjadi tidak mudah menembus pasran internasional. Begitu tahu Bagteria buatan Indonesia, mereka maunya minta murah,”jelas Nancy.

Nilai Bagteria di luar negeri jauh lebih mahal. Harga Bagteria di Indonesia merupakan sepertiga dari harga Bagteria sejenis yang sudah diekspor. Bagteria yang dijual di luar negri harganya bisa mencapai tiga kali lipat ketimbang Bagteria Indonesia..

Nancy selalu menyiapkan perusahannya menghasilkan produk untuk beberapa musim kedepan. Semisal diawal tahun 2008, Nancy dan Bert sudah memroduksi tas untuk musim panas dan gugur tahun 2008 dan tahun 2009. Setiap akan mengeluarkan produk baru, Bagteria berpameran di Fashion Newsweek, Amerika Serikat. Dengan pameran itulah maka masyarakat internaional akan mengetahui produk terbaru Bagteria.

Tak lupa juga negara seperti Jepang dan Paris yang merupakan negara kiblat mode dunia menjadi tempat pameran Bagteria. Jepang jua-lah yang merupakan negara dengan permintaan Bagteria tertinggi. Tapi hal itu juga tergantung dari jenisnya. Berbeda jenis maka berbeda negara yang membeli. Bukan suatu hal mustahil bagi Bagteria menembus pasar dunia. Dengan bepameran diketiga negara tersebut banyak insan mode dunia yang akan mengenalinya.

“Paris Hilton pertama kali mengenal Bagteria ketika kami berpameran di Fashion Week di Amerika Serikat. Kebetulan saat itu ia sedang melewati stand kami dan mengaku suka dengan Bagteria. Ya sudah karena dia menginginkan tas itu padahal kami belum ada cadangan produksi lainnya, ya kami beri saja,”ungkap Bert. Pasangan suami isteri tersebut menampik anggapan bahwa Paris Hilton merupakan ikon model Bagteria. Keterlibatan artis Hollywood itu terutama karena ketidaksengajaan. Sekarang, Bagteria dapat ditemui diberbagai rumah mode terkenal dibeberapa negara serta tersebar di butik pada puluhan negara di dunia.

Bert yang tampak setia mendampingi sang isteri kemudian teringat pada kejadian tahun pertama mampu menembus pasaran internasionnal. Kala itu ada orang korea yang berminat memasarkan Bagteria di butiknya. Namun setahunnya Bagteria merupakan produk buatan Italia karenanya begitu tahu bahwa ternyata buatan Indonesia, orang Korea tersebut minta supaya dapat membeli dengan murah. “Tapi itu ngga fair dong. Kalau dia bisa membeli beberpa tas kami di Milan, dan akhirnya ingin memesan langsung dari kami, pasti ada nilainya,”ulas Bert. Pandangan internasional sampai sekarang masih beranggapan bahwa produk keluaran Indonesia bisa jauh lebih murah. Akhirnya orang Korea tersebut bisa mengerti. Bahkan sampai sekarang ia menjadi pelanggan setia.

Harga Bagteria di Indonesia sekarang dibanderol mulai dari Rp. 2.5 Juta sampai 9 Juta. Apalagi bahan baku yang digunakan setiap tahunnya meningkat. Di luar negeri harga Bagteria bisa tiga kali lipat, bahkan lebih.

Produksi tertinggi yang pernah dihasilkan oleh PT. Metamorfosa Abadi adalah sekitar dua tahun lalu dimana kapasitas produksinya mencapai 1.500 buah/bulan. “Tapi sebenarnya itu overtime, ngga sehat. Akhirnya anak-anak banyak yang sakit,”ulasnya. Saat itu permintaan sangat tinggi dan mereka tidak memperhitungkan dengan tenaga kerja yang ada. Ketika itu jumlah tenaga kerja mencapai 250 orang. “Saat itu kami baru masuk ke pasaran internasional. Tapi itu pelajaran buat kami. Terkadang kami tidak enak menolak permintaan orang.,”ulas Nancy dan Bert hampir bersamaan.

Produksi normal Bagteria adalah 900 sampai 1000 buah/bulan. Sebanyak 80 persennya diekspor keluar negeri. Sedangkan sisanya untuk produksi dalam negeri. Ada sekitar 30 negara yang menjadi tempat distribusi Bagteria. Di Indonesia setiap bulannya mampu terjual sebanyak kurang lebih minimal 100 tas.

Nancy sudah mengetahui bahwa produknya ditiru oleh pihak lain. Tapi ia sendiri santai saja. “Aku rasa ngga banyak orang mau meluangkan waktunya sedemikian lama untuk produksi suatu produk,”ulasnya. Tidak semua orang mau berkutat dengan kedetilan dan kerumitan.

Bukan berarti tidak ada halangan yang ditempuh oleh Bagteria. Pernah suatu kali mereka terlambat mengirimkan barang sesuai dengan perjanjian. Akhirnya order dibatalkan sepihak. Hal itu karena bahan baku dari tas seperti manik, manik, batuan dan aksesoris lainnya belum datang dari negara penghasilnya. “Jadi kalau mulai produksi, materialnya baru 30 persen, kami ngga bisa mulai. Barang tepat waktu datang itu juga ngga gampang karena berasal dari berbagai negara,”ulasnya. Itulah kendala produksi Bagteria.

Itulah mengapa dalam setiap jenis dan warnanya hanya berjumlah 299 buah. Setiap desain hanya ada dua sampai tiga warna. Sekarang jumlah karyawannya sebanyak 200 orang. Tidak begitu saja mereka menambah karyawan. “Lagipula mengajarkan keahlian tersebut pada orang lain tidak mudah,”jelas Nancy.

Dalam perluasan pasar mereka berdua tidak mau gegabah. Saat ini mereka ingin lebih membesarkan nama Bagteria di pasar internasional. Sekarang mereka dalam tahap pembicaraan dengan negara tertentu untuk mendirikan butik sendiri. Jumlah produksi yang terbatas itulah yang membuat Nancy tidak ingin memasifkan Bagteria langsung pada end user. “Untuk monitoring dan kontrolnya sulit sekali. Apalagi jauh,”ungkap Bert. Sejurus dengan pendapat Bert, Nancy mengatakan : ”Kalau bisa berbagi tugas, hasilnya bisa lebih bagus. Ngga mungkin kami bisa pegang semuanya,”ulasnya.

Bagteria juga memberikan pelayanan paska jual. Disetiap distributornya, PT. Metamorfosa Abadi menyediakan aksesoris cadangan. Jadi bila ada salah satu tasnya rusak atau ada aksesoris yang hilang, maka pelanggan bisa membetulkannya di butik-butik yang bekerja sama dengan distributor resmi Bagteria. Begitupula yang terjadi di Indonesia. Bila ada pelanggan yang mengeluh terjadi kecacatan fisik pada tas yangs duah dibeli, maka bisa dibetulkan di butik Bateria di Jakarta. “Bila ada aksesoris yang dihilangkan oleh konsumen sendiri, maka nanti akan kami ganti aksesoris yang hilang itu. Kami kenakan charge,”cetus pria berusia 51 tahun itu.


-SWA 30 April-14 Mei 2008-

Monday, July 9, 2007

Midas Bernama Johnny


Di tangannya, BreadTalk dan J.Co menjadi fenomena bisnis makanan di Tanah Air. Apa kunci suksesnya?


Di dunia waralaba Indonesia, rasanya tak berlebihan, bila untuk sementara waktu – sekali lagi, sementara waktu – Johnny Andrean dianggap sebagai Midas. Lihatlah, dari seorang hair stylist, Johnny sukses membawa BreadTalk menjadi fenomena dunia roti di Tanah Air. Bukan cuma membuat orang rela antre, kecepatan berekspansinya pun mengagumkan. Sejak hadir di Indonesia pada Maret 2003 di Mal Kelapa Gading ext. 3 Jakarta, cabangnya terus menyebar. Kini, sudah 30 gerai tersebar di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Makassar, Manado, Pekanbaru, Solo, Yogyakarta, Palembang, Batam, dan Medan. Dibanderol di kisaran Rp 4-8 ribu per roti, produk ini hampir selalu ludes terjual.

Salah satu kunci sukses waralaba yang dibawa langsung dari Singapura ini, ditegaskan Johnny, adalah butik roti dengan desain interior yang open kitchen. Gaya dapur terbuka ini membuat pengunjung dan pembeli dapat melihat langsung bagaimana produk dibuat sehingga tahu bahwa yang dijual benar-benar fresh from the oven. “Supaya pembeli kami tahu bahwa kualitas higienis produk itu terjamin dengan masa berlaku satu hari,” tambah Gita Herdi, Manajer Humas Grup Johnny Andrean.

Tentu saja, konsep dapur terbuka ini menjadi hal menarik karena banyak pengusaha makanan yang tabu membuka dapurnya. “Buat apa takut terbongkar?” ucap Gita. “Pada open kitchen ini, yang ditunjukkan proses pembuatannya saja! Resep mulai dari pemilihan bahan baku dan adonannya, itu yang jadi rahasia kami,” tambahnya.

Perkara roti yang diganti setiap hari, tentu saja tidak terlalu istimewa sebab tukang roti asongan pun melakukannya. Lalu apa yang menjadi keistimewaan BreadTalk?

Gita menegaskan, keistimewaannya terletak pada tahap praproduksi. Sebelum meluncurkan produk baru dengan nama yang unik, pihaknya menyiapkan secara selektif selama dua-tiga bulan sebelumnya. Untuk mengetahui rasa baru yang bisa diterima konsumen, digelar survei riset consumer insight di setiap gerai. Kepada pengunjung disajikan beberapa contoh calon produk roti paling gres. Kemudian, setiap bulan ada penambahan dua-tiga varian rasa dengan nama-nama yang mudah diingat, misalnya Fire Floss.

Gita tidak menampik BreadTalk mengundang pengusaha lain mengikuti jejak serupa. Untuk menghadapi persaingan, ia menegaskan pihaknya selalu konsisten menjaga kualitas, mulai dari proses praproduksi sampai pascaproduksi. Dan, tentu saja selalu berinovasi produk. Seperti yang baru saja dilakukan yakni meluncurkan empat kreasi terbaru: Toasted Cheese, Twister, Hot Temptation, dan Sakura. Keempat varian ini merupakan bagian dari kampanye edukasi tentang roti sebagai makanan alternatif terbaik pengganti nasi. “Kami menyebutnya sebagai Fun Dinning ala BreadTalk. Keempat varian terbaru ini bisa dijadikan sebagai alternatif untuk starter, appetizer, main course, dan dessert,” Inggrid, PR Eksekutif BreadTalk, menguraikan.

Johnny sendiri hanya tersenyum ketika dikatakan usaha butik rotinya ini menjadi trend-setter bisnis roti di Indonesia. Bahkan, tak sedikit yang ingin bermitra. “Sampai saat ini, BreadTalk Indonesia belum mau saya waralabakan meski yang bersedia menjadi franchisee banyak sekali,” tambah lelaki yang memegang master franchise BreadTalk di Indonesia ini. Alasannya, ia masih menata diri dan menjaga kualitas produk agar tetap mudah terkontrol.

Kehati-hatian, tampaknya amat dipegang Johnny dalam berekspansi. Yang menarik, ia justru berekspansi dengan mengibarkan donat J.Co. Dan seperti halnya di roti, tangan Midasnya kembali bekerja. Ia sukses. Kedai donat dan kopi yang dinamakan J.Co Donuts & Coffee juga menimbulkan kehebohan tersendiri. Dengan konsep mirip Starbucks, tapi open kitchen, resto ini menjadi tempat kongko baru kawula muda. Yang menarik, banyak yang menganggap donat Johnny tak ubahnya BreadTalk, waralaba asing. “Padahal murni buatan lokal,” tandas Indriana Liztya, Manajer PR & Promosi J.Co Donuts & Coffee.

J.Co memang disiapkan Johnny sebagai produk bercitarasa dan berkesan global. Karena itu, harga jual yang dibanderol lebih tinggi dibanding donat di pasaran. Setengah lusin donat glaze, misalnya, berkisar Rp 23-25 ribu untuk assorted. Dan itu semua disambut pasar. Berawal di Supermal Karawaci Tangerang pada 26 Juni 2005, jaringan J.Co sekarang mencapai 20 gerai. Lokasinya, di mana ada BreadTalk, umumnya di sana ada J.Co, sebab resto ini memang menyasar kalangan menengah-atas yang terbiasa dengan gaya hidup dinamis, charm (menarik), dan modern.

Hampir 50% bahan baku J.Co diimpor. Cokelat, misalnya, dari Belgia, sedangkan susu dari Selandia Baru. Biji kopinya pun langsung di-roasted di Italia dan Kosta Rika yang dipadukan dengan biji kopi lokal. Karena itulah, positioning J.Co ditetapkan sebagai produk berkualitas premium.

Selaiknya BreadTalk, Johnny juga menggelar survei pendahuluan untuk membaca selera konsumen. Kegiatan ini dilakukan dua minggu hingga sebulan sebelum varian baru diluncurkan. Survei menjadi ajang masukan dalam membuat varian donat dan minuman terbaru. Nama-nama donat pun sengaja dibuat untuk memancing rasa ingin tahu pembeli. Contohnya: Al Cappone (donat dengan topping kenari); dan Cheese Me Up (donat yang dilumuri keju cair di atasnya, bukan parutan seperti biasanya).

Kini, J.Co memiliki lebih dari 19 varian rasa. Cheese Me Up, Glaze Donut, dan Al Cappone adalah nama yang banyak dipilih konsumen. Untuk minumannya, ada Cappuccino untu kategori minuman panas, Toffee O (minuman nonkopi), dan Thai Tea untuk minuman dingin sekali (over ice). Di luar itu, ada dua produk yang baru diluncurkan: Don Mochinno (donat ber-topping cokelat dengan gambar dua hati dan berisi kapucino); serta minuman Mochabella yang memadukan kopi dan cokelat. “Produk ini dihadirkan untuk memenuhi selera konsumen yang tidak terlalu suka kopi atau cokelat saja,” papar Johnny di sela-sela acara peluncuran produk terbaru J.Co Donuts & Coffee di Senayan City.

Kendati pemiliknya sama, manajemen J.Co terpisah dari BreadTalk. BreadTalk dengan bendera PT Talkindo Selaksa Anugrah (TSA); sedangkan J.Co dalam naungan PT J.Co Donuts & Coffee. Tujuannya, disebutkan Johnny, supaya ia bisa lebih fokus dalam pengelolaannya. Khusus J.Co, Johnny membangun tim spesialis yang bertugas menciptakan varian-varian baru donat dan minuman. Sama halnya dengan tim spesialis BredTalk yang mengurusi pengembangan roti terbaru, minimum sebulan sekali ada satu varian donat terbaru yang diluncurkan.

Sampai saat ini, seperti halnya BreadTalk, J.Co juga belum mau diwaralabakan khususnya untuk pasar dalam negeri. “Untuk pasar lokal, kami masih mau pegang sendiri. Untuk pasar luar negeri pun, kami nggak serta-merta menyetujuinya,” ujar Johnny. Rencananya, untuk pasar luar negeri, sistem waralaba sedang disiapkan dan dimatangkan. Tahun 2007, J.Co siap go international, seperti ke Singapura, Hong Kong dan Australia. “Semuanya dalam proses dan penjajakan sambil memilih calon franchisee yang benar-benar pas untuk pasar luar negeri,” Gita menandaskan.

Bagi Johnny, J.Co bagaikan bayi yang sedang diajari berjalan dengan benar. “Biar napak dahulu dengan baik, agar tidak mudah sempoyongan kalau ada ‘angin keras’,” ungkapnya diplomatis. Tingginya minat yang ingin menjadi franchisee J.Co dijadikan tolok ukur dalam pembenahan diri. Juga, bentuk apresiasi publik karena produknya dapat diterima. Johnny pun tahu, masyarakat umum sering tidak ngeh bahwa J.Co sebenarnya murni buatan anak negeri. “Artinya, brand positioning yang sengaja mengglobal berhasil,” tambah Gita.

Sejak dibuka sampai sekarang, J.Co tumbuh 1%-5% per bulan dengan jumlah penjualan rata-rata 10-20 ribu potong per hari di setiap gerai. Sementara itu, total pertumbuhan bisnis BreadTalk mencapai 10%-15% per tahun. Johnny hanya tertawa penuh arti mendengar angka pertumbuhan itu. Baginya, angka-angka itu sebagai bukti kesungguhannya membangun bisnis food & beverage-nya. Ketika ditanya kunci utama kesuksesan bisnisnya, ia menjawab: disiplin pada janji, serta tepat waktu kepada calon mitra, mitra, karyawan, dan konsumen. “Intinya bisnis kan membangun kepercayaan atau reputasi,” tukasnya sembari tersenyum. Sosok tinggi langsing berkacamata minus itu kembali menyapa tamu J.Co satu per satu. “Seperti itu kerjaan Bapak (Johnny – Red.) kalau ada di gerai,” kata Gita. Tujuannya supaya lebih dekat dan tidak mengecewakan konsumen.

Reportase: Rias Andriati
-Tutut-

Minuman Soda, Masih Menarikkah?


Bagi pemerhati dan penyuka minuman, jenis minuman soda (bukan soft drink), tentu bukanlah hal yang baru diketahuinya. Jenis minuman ini sudah lama ada. Bahkan, minuman soda gembira (campuran soda dengan susu) sempat populer di kalangan kampus dan anak muda tahun 1980-an. Banyak warung pojok yang menyediakannya.

Rupanya, napas minuman soda tak sepanjang jenis minuman lain. Seolah-olah membentur tembok tinggi, dari waktu ke waktu perkembangan pasar minuman soda tak kunjung berkembang. Meski jumlah pemainnya tak bisa dibilang sedikit, dan bukan pemain sebarangan pula -- seperti PT Coca-cola Indonesia lewat merek Schweppes Soda Water -- pasar ternyata tidak bisa mengangkatnya.

Mengapa? Ada dugaan, salah satu faktor yang membuat pasar minuman soda tidak berkembang adalah rasa. Rasanya yang hambar, bahkan cenderung pahit, membuat tidak banyak konsumen yang menyukainya. Konsumen yang mengonsumsi minuman soda adalah yang memiliki tujuan tertentu, dan kebanyakan meminumnya dengan menambahkan susu.

Sebenarnya produsen pernah mencoba mengatasinya dengan memberikan rasa tertentu. PT San Miguel Indonesia F&B (SMI), pemain terakhir yang masuk ke kategori ini dengan merek Ize Pop, misalnya, mengusung beberapa rasa pada produknya, di antaranya green lemon lime, bubble orange dan vanilla kissed sarsaparilla. “Kami memang tes ke pasar. Significantly win among current competitor,” ujar Edo Ginting, Manajer Merek SMI. “Rasa menjadi salah satu selling point bagi produk kami,“ ujarnya tentang Ize Pop yang diluncurkan pertengahan 2006.

Selain SMI, PT Delta Djakarta Tbk. (DD) juga turut meramaikan pasar minuman soda lewat Suda Ice dan Sodaku. Soda Ice adalah minuman malt berkarbonasi dengan tiga varian rasa buah: apel, orange dan tamarin. Adapun Sodaku adalah soda tawar tanpa rasa. “Soda Ice lebih membidik segmen remaja,” ujar Eddie Priyono, Direktur Komersial DD. Eddie mengatakan, potensi pasar minuman soda untuk tumbuh masih besar. “Sejauh ini, pertumbuhan Soda Ice sangat signifikan,” ujarnya. Terbukti, walau masih terbilang baru, kontribusi penjualannya mencapai sekitar 5% dari total produk lansiran DD.

Dwi Hatmadji sependapat dengan Eddie. Mantan Manajer Pemasaran Flavor PT Coca-Cola Indonesia yang telah beralih profesi menjadi wirausaha ini menyebutkan, potensi pasar bisnis minuman bersoda masih menjanjikan. “Hanya saja, penetrasi per kapita masih rendah,” tutur Dwi. Ia membandingkan Indonesia dengan Thailand. Di Negeri Gajah Putih itu, per tahun konsumsinya 120 serving (sajian)/kapita, sedangkan di Indonesia 10 serving.

Meski pontensi pasarnya tergolong cukup besar, hingga saat ini seperti tidak ada pemain yang serius mengembangkan pasar minuman soda. “Tidak ada pemain yang pernah mengadakan program promosi produk, juga tidak ada hadiah bagi konsumen yang membeli,” ungkap Hendra Setiawan, Manajer Departemen Makanan dan Minuman Hypermart, Plaza Gadjah Mada.

Hendra menyebutkan, sepengetahuannya, dari sekian banyak merek yang beredar, hanya Calpico Soda yang pernah berpromosi. Itu pun hanya di media massa dan sifatnya sangat temporer.

Eddie mengakui, hingga sekarang aktivitas promosi DD memang masih sangat terbatas. Awalnya, Soda Ice sempat dikomunikasikan lewat above the line, tapi kini DD lebih konsentrasi di below the line. “Kami sengaja lebih banyak melakukan promosi langsung ke target pasar,” ujarnya. Pertimbangannya, tak lain karena penetrasi yang masih belum masif. Maklum, produk baru. Lagi pula, saluran distribusi minuman beralkohol berbeda untuk nonalkohol, tapi DD mencampurkannya.

Walau pemain baru bermunculan, pemain lama seperti F&N masih cukup kuat. Hendra mengungkapkan, di gerainya, minuman soda yang tergolong paling laris adalah Navika. Setiap minggu Hypermart mengorder ke distributor 10-20 karton. Satu karton berisi 24 kaleng atau tetrapack. Adapun order ke F&N hanya tiga karton.

Kondisi berbeda ditunjukkan pasar tradisional. Di pasar tradisional, F&N sebagai pemain lama masih memperlihatkan dominasi. Menurut Fajar, pemilik toko Hambali di Pasar Sawo, Asem Baris, Tebet, Jakarta Selatan, penjualan F&N di tokonya tergolong cukup tinggi. ”Pagi ini saja (sampai pukul 11.00) terjual 10 krat (1 krat=24 botol). Tidak bisa diprediksi berapa frekuensi per harinya,” katanya.

Dwi mengatakan, potensi kategori produk minuman soda untuk tumbuh masih besar. Apalagi, jumlah penduduk Indonesia juga besar. Jangan heran, banyak pemain yang coba menggarap. “Sayangnya, di pasar yang gemuk ini bukannya tanpa kendala, terutama dari faktor budaya orang Indonesia yang masih lebih suka minum air putih dan teh. Makanya, pasar minuman green tea tumbuh lebih fantastis.”

Menurut Dwi, dibutuhkan napas yang panjang untuk meraih sukses di kategori ini. “Meksiko dengan konsumsi per kapita sudah lebih dari 300 serving saja,” katanya, “butuh satu dekade untuk tumbuh dari sekitar 10 serving/kapita/tahun.”

Reportase: Rias Andriati & Abraham Susanto
TH

Bisnis Baru: Home Schooling

Pesinetron belia yang sedang naik daun Nia Ramadhani tak perlu cemas memikirkan bangku sekolah saat syuting. Ia tidak perlu keteteran membagi hari untuk sekolah dan jadwal syuting. Pasalnya, sebagai murid E-Hughes Schooling, ia bisa tetap menimba ilmu tanpa terkurung jadwal di kelas karena mempunyai otoritas untuk menentukan jadwal belajarnya sendiri di rumah.

Memilih menjadi seorang homescooler tak hanya dilakukan Nia yang memiliki jadwal padat. Gagah Tri Darma Prasetya mengaku memilih program pembelajaran home schooling ketimbang sekolah formal karena lebih efektif. “Kalau di sekolah formal istilahnya guru menjadi sopirnya, kalau jadi homeschooler, kita sendiri yang menjadi sopirnya,” ungkap putra pemain teater Ratna Riantiarno yang sejak beberapa tahun ini tergabung dalam Kak Seto Home Schooling.

Di belahan bumi lain, terutama Barat, metode pembelajaran alternatif ini sudah lama dipakai masyarakat. Di seluruh dunia terdapat 6 juta home schooling (HS) yang tersebar di berbagai negara. Di sini, belakangan, program HS memang menjadi alternatif pembelajaran. Dalam pandangan pakar sekaligus pemerhati pendidikan, Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto, HS merupakan sekolah alternatif yang menempatkan anak-anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan secara at home. “Dengan pendekatan inilah, anak-anak merasa nyaman belajar karena mereka bisa belajar apa pun sesuai dengan keinginannya, kapan saja dan di mana saja seperti ia tengah berada di rumahnya,” katanya.

Menurut Kak Seto, meski disebut HS, tidak berarti anak terus-menerus belajar di rumah. Anak-anak bisa belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti di rumah. “Karena itu dalam sistem HS, jam pelajaran bersifat fleksibel, mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali,” imbuh pemilik Kak Seto Home Schooling (KSHS) ini.

Meski baru dibangun pada Februari lalu, peminat KSHS lumayan banyak. Saat ini KSHS melayani permintaan untuk HS anak SD dan SMU. Untuk tingkat SMP baru dibuka Juli mendatang. KSHS dimulai dengan 10 homescooler pada Januari lalu. Pada Maret ini sudah 25 murid terdaftar di KSHS. Dan, 15-20 calon homeschooler yang antre sampai tahun ajaran mendatang. “HS di sini lebih terstruktur dengan ketentuan seminggu dua kali, selebihnya anak-anak belajar sendiri,” ujar Kak Seto menjelaskan.

Model pendidikan alternatif HS belakangan memang marak dipilih para orang tua. Sekadar menyebut contoh, Ratna Riantiarno dan Neno Warisman memilih model alternatif ini untuk pendidikan anak-anaknya. Seiring dengan meningkatnya minat orang tua terhadap model pendidikan alternatif ini, komunitas HS pun bermunculan. Selain KSHS, ada Komunitas Berkemas, Kerlip, Morning Star Academy, Komunitas Ibnu Amanah, juga Komunitas Kebun Main. Untuk memayungi berbagai komunitas HS ini, Kak Seto bersama Departemen Pendidikan Nasional kemudian menggagas lahirnya Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) pada 4 Mei 2006.

Salah satu anggota Asah Pena, Komunitas Berbasis Keluarga dan Masyarakat (Berkemas) diakui sang pendirinya, Yayah Komariah, kebanjiran permintaan HS. Berdiri tahun 2003, saat ini ada 55 homeschooler yang tersebar di berbagai kota. Menurut Yayah, ia sendiri tak mematok angka tertentu untuk biaya HS di tempatnya. “Terserah keikhlasan mereka,” katanya berkilah. Yang pasti, saat ini saban bulan ada orang tua yang memberi Rp 30 ribu, ada juga yang Rp 200 ribu. Sementara untuk ujian semester, ia mematok Rp 50 ribu untuk biaya pembuatan soal, di luar ongkos kirim untuk muridnya yang berada di luar kota.

Berkemas yang membuka untuk pengajaran setingkat SD dan berkantor di gang sempit di kawasan Pasar Minggu, diakui lulusan IKIP Jakarta ini, juga direspons para orang tua yang tinggal di Kalimantan. “Karena jarak jauh, saya hanya mengirimkan modulnya,” ujarnya.

Seperti juga Berkemas, Morning Star Academy Home Schooling (MSA HS) diakui pendirinya, Wanti Wowor, juga banyak mendapat permintaan. Dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, MSA HS yang melayani tingkatan SD sampai SMA saat ini memiliki sekitar 400 homeschooler. “Metode yang kami pakai merupakan adaptasi dari metode HS di luar negeri. Kami juga bekerja sama dengan Franklin Classical School di Amerika Serikat,” ungkap Wanti yang mendirikan MSA HS pada 2002.

Diakui Kak Seto, saat ini pihaknya juga tengah membina kerja sama dengan asosiasi HS di AS dan Australia. Seiring dengan permintaan HS yang makin banyak, Juli mendatang Kak Seto akan menerapkan program e-learning. Selain itu, KSHS juga akan diwaralabakan. “Sudah ada permintaan franchise dari Surabaya, Bandung, Semarang, Makassar, Batam, dan Denpasar,” katanya. Menurut Kak Seto, pada Mei-Juni mendatang akan ada pelatihan untuk tutor waralaba. “Sehingga Juli nanti, franchise sudah bisa berjalan,” kata Kak Seto yang tak mau menyebut biaya mengambil waralaba KSHS.

Sejatinya, Kak Seto tidak memikirkan dampak bisnisnya. Sistem waralaba ini dibuat lebih untuk menjaga kualitas HS supaya tidak melenceng. “Saya akan selektif memilih calon franchisee, yang jelas orientasinya tidak sekadar bisnis,” tuturnya. Pembagian keuntungan sendiri, 40% untuk KSHS dan 60% untuk franchisee-nya.

Menurut Dhanang Sasongko, Direktur Pengelola KSHS sekaligus Sekjen Asah Pena, modal awal untuk membangun komunitas HS sebesar Rp 20-25 juta. “Termasuk kecil karena tidak memerlukan perawatan gedung belajar,” katanya. KSHS memiliki fasilitas pertemuan para homeschooler di Salapa Knowledge Center dan rumah Kak Seto. “Sampai Maret ini kami sudah (mencapai) BEP (breakeven point),” katanya. Sampai Maret lalu, KSHS memiliki empat tutor.

KSHS mematok uang pangkal Rp 1,5 juta untuk level SD ataupun SMA. Adapun uang kegiatan untuk level SD Rp 1,5 juta dan untuk level SMA Rp 2 juta. Sementara iuran bulanan SD dipatok Rp 350 ribu dan SMA Rp 450 ribu. Untuk tahun ajaran baru yang dimulai Juli nanti, biaya-biaya ini tentu saja bisa berubah. Kalau orang tua menginginkan ada tutor yang datang ke rumah, ada biaya ekstra. Untuk tingkat SD, sekali seminggu Rp 440 ribu, dua kali seminggu Rp 800 ribu, dan tiga kali seminggu Rp 1 jutaan. Sementara untuk SMA, seminggu sekali Rp 520 ribu, dua kali seminggu Rp 880 ribu, dan tiga kali seminggu Rp 1,3 juta.

Reportase: Rias Andriati
HTS

Koran Anak Pertama di Indonesia

Abednego Andito dan Angelina Andita punya kebiasaan rutin sebelum mengawali aktivitas hariannya. Murid SD di Jakarta ini selalu melahap koran anak yang sudah sampai di rumah mereka pada pukul 6 pagi. “Mereka membacanya sebelum berangkat sekolah,” ungkap sang ayah, A. Krisnawan, konsultan di Kantor Akuntan Publik A. Krisnawan dan Rekan.

Demikian pula Muhammad Baihaqi. Murid kelas 6 SD ini juga rajin membaca koran anak, termasuk kakaknya yang sudah kelas 3 SMP. Diakui Sofwan Hidayat, sang ayah, pihaknya memutuskan berlangganan koran anak karena tema-temanya aktual dan sarat pengetahuan umum. “Malah kalau sepupu-sepupu anak saya datang, koran anak itu jadi rebutan,” kata Sofwan, karyawan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Sejak pertengahan tahun lalu, media anak di Indonesia diramaikan oleh kehadiran Berita Anak Indonesia -- disingkat Berani -- yang tercatat sebagai koran anak pertama di Indonesia. Menurut sang pencetus, Henny Rahayu Witdarmono, Berani dibesut karena keprihatinannya terhadap minat baca anak Indonesia yang menurut Programme for International Student Assessment 2003, dari 40 negara yang diteliti, kemampuan membaca anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada pada urutan terakhir. “Artinya, daya baca kita sangat rendah,” ungkap Henny yang bertindak sebagai pemimpin perusahaan.

Di bawah payung PT Anugerah Mitra Sharma Grha, lulusan American Banking Institute New York ini bersama sang suami, H. Witdarmono, yang lama berkecimpung di dunia media, sepakat menggulirkan Berani sebagai alternatif bacaan anak-anak. Diakui Henny, konsep koran anak sejatinya telah ada 8 tahun lalu saat ia masih bermukim di Amerika Serikat. Minat baca yang sangat tinggi di AS dan Eropa menggelitiknya untuk terjun ke bisnis media. Pilihan jatuh ke koran karena dalam pandangannya, koran yang terbit tiap hari bisa merangsang minat anak untuk membaca. Terlebih, belum ada yang menggarap koran anak. Di dunia tercatat hanya ada tiga negara yang memiliki harian khusus anak, yakni Jepang, Prancis, dan Indonesia.

Laiknya harian, Berani mengemas berbagai tema yang berbeda setiap hari. Rubrikasinya meliputi internasional, nasional, berita utama, resensi buku, olah raga, ilmu pengetahuan dan teknologi, juga mata pelajaran yang disesuaikan dengan usia segmen yang dibidik, yaitu anak-anak SD. Tema pelajaran disajikan secara bergiliran saban hari dengan bahasa sederhana yang bisa dicerna anak-anak usia 8-13 tahun. Awak redaksinya terdiri atas 18 orang, sementara total karyawan 40 orang. “Kami menyajikan berita yang layak dibaca anak. Kami tidak menyajikan berita-berita yang berbau politik dan kekerasan,” ungkap H. Witdarmono, Pemimpin Redaksi Berani. Dengan ukuran koran yang hanya 27 cm x 21 cm, menurutnya, Berani yang terbit 16 halaman (Senin-Jumat) memudahkan anak-anak membaca.

Untuk distribusinya, Henny memilih memfokuskan penjualan dengan cara berlangganan. Sampai saat ini belum terpikirkan olehnya mendistribusikan di lapak-lapak. “Daya tariknya tidak besar, jadi akan sulit bagi kios-kios untuk menjual,” ungkapnya memberi alasan. Saat ini, Berani memiliki 200 distributor atau agen yang tersebar di berbagai kota.

Dalam pandangan Dicky E.A., konsep berlangganan yang diusung Berani sudah tepat. “Lebih efisien karena tidak ada barang yang dikembalikan,” kata Dicky dari Ditamas Agency yang menyalurkan Berani untuk wilayah Pancoran, Pasar Minggu, Warung Buncit, Kalibata, dan sekitarnya. Saat ini ia berhasil menggaet 20 pelanggan. Menurutnya, angka tersebut sangat baik. “Untuk media baru termasuk lumayan,” ujarnya. Adapun Agen Friendship bisa merangkul 100 pelanggan. “Bahasa sederhana ala anak SD yang ditonjolkan Berani merupakan daya tariknya,” ungkap Laris Naiboho, pemilik Friendship yang juga Ketua Umum Yayasan Loper Indonesia.

Dengan mematok harga Rp 25 ribu/bulan untuk berlangganan atau Rp 2.000 untuk eceran, saat ini tercatat beberapa sekolah swasta menjadi pelanggan Berani. Departemen Pendidikan Nasional pun berlangganan, yang kemudian menyebarkannya ke SD-SD di tingkat kecamatan, kotamadya, dan provinsi. Tirasnya per hari, dikatakan Henny, mencapai 50 ribu eksemplar. Sampai saat ini ada 300 SD yang menjalin kerja sama dengan Berani.

Diakui Henny yang sempat berkarier di BRI New York dan PT Indofood Sukses Makmur, awalnya tidak mudah meyakinkan pihak sekolah dan para orang tua untuk menjadikan Berani sebagai bacaan bagi anak-anak mereka. Dengan pantang mundur, setelah berjalan setengah tahun, akhirnya respons positif pun mulai dipetik. Terutama, dari daerah. “Di daerah perkotaan, sulit untuk penetrasi pasar, tapi di daerah umumnya langsung merespons positif, mungkin di kota sudah banyak bacaan, ya,” tutur kelahiran 13 Desember 1961 ini.

Untuk memperluas jangkauan pasar, sejak Februari 2007 pihaknya berekspansi ke Toko Buku Gramedia. Jumlah yang dijual di seluruh TB Gramedia berkisar ratusan eksemplar. Sayang, ia tak mau menyebutkan jumlah yang terserap pasar lewat toko buku tersebut. Pelanggan terbesar saat ini ada di Jakarta, diikuti Surabaya, Bandung, Malang, dan kota-kota lain. Perbandingan antara pelanggan dan pengecer adalah 80:20.

Kalangan korporasi pun menjadi target perluasan pemasaran Berani. Dijelaskan Henny, saat ini Departemen Luar Negeri menggunakan berita Berani untuk mengedukasi masyarakat dengan menampilkannya di website Deplu, http://www.deplujunior.org/koran_berani.html. Mulai Maret 2007, pihaknya juga menjalin kerja sama dengan PT Astra Agro Lestari yang berlangganan Berani untuk diberikan gratis kepada anak-anak petani di perkebunan mereka. Kerja sama serupa dilakukan dengan Pemda Riau yang mencanangkan Riau Membaca. “Akan ada ratusan SD yang diajak berlangganan Berani. Setiap sekolah berlangganan sekitar 40 eksemplar,” ungkap Henny yang enggan membeberkan besar modal awal. Ia hanya mengatakan, hasil penjualan tahun ini harus bisa menutupi modal awal.

Reportase: Rias Andriati
HTS

Dari Bakso Gerobak Menuju Mancanegara

Berdagang bakso keliling sejak tahun 1970, tidak terpikir oleh Widyanto akan menjadi bos dari 65 gerai jaringan Bakso Lapangan Tembak Senayan dan mempekerjakan 2 ribu karyawan. Bahkan, hendak ekspansi 30 cabang ke luar negeri.

Bagi Ki Ageng Widyanto Suryo Buwono – nama yang dianugerahkan Sultan Hamengkuwono IX tahun 1980-an – menjadi pengusaha pada 37 tahun silam adalah mimpi di siang bolong. Bagaimana tidak, pada saat itu – sekitar tahun 1970-an – ia hanya mengisi hari-harinya dengan berdagang bakso ala kadarnya. Pekerjaan itu pun dilakoni lantaran impitan tekanan ekonomi yang pas-pasan. Harapan kerja kantoran dibuang jauh-jauh, karena ia hanya mengantongi ijazah STM 1 Solo.

“Bakso adalah makanan yang simpel dan siapa pun bisa makan. Bisa sebagai camilan dan mengenyangkan perut,” ujar lelaki yang akrab disapa Widyanto itu. Maka, ia pun mulai berdagang bakso pikul di Solo. Tidak puas dengan hasil jualan di Solo, pada 1971 ia memutuskan hijrah ke Jakarta.

Setiap hari Widyanto keluar-masuk kampung menjajakan bakso pikulnya. Di siang hari, biasanya ia mengelilingi gang kampung Petamburan, Slipi, Pejompongan dan Gelora Senayan. Dan malam harinya, ia biasa mangkal di kawasan Lapangan Tembak Senayan (kini telah berubah menjadi Hotel Mulia – Red.)

Rupanya dari Lapangan Tembak itulah, Widyanto menemukan pelanggan-pelanggan yang ketagihan dengan baksonya. Saat itu, pelanggan menyebutnya sebagai bakso ala Jowo. Sehingga akhirnya, di tahun 1982 ia memutuskan mangkal tiap hari di luar pagar kompleks Lapangan Tembak Senayan.

Dewi Fortuna berpihak padanya, karena tahun 1983 ia diizinkan memboyong gerobak baksonya ke dalam kompleks, dan sejak itu baksonya dikenal masyarakat dengan sebutan Bakso Lapangan Tembak Senayan. Jika ingat pada waktu itu, warung bakso yang berada di lokasi parkir itu dipenuhi oleh mobil yang ingin jajan di sana. Para tamu rela makan sambil berdiri atau bahkan makan bakso di mobil masing-masing karena tidak mendapatkan tempat duduk. Dan sudah menjadi pemandangan lazim, setiap sore para atlet pelatnas (atletik, bulutangkis, renang, menembak dan sebagainya) terlihat makan dan kongko-kongko di sana. Pendeknya, warung bakso Lapangan Tembak ini ngetop di kalangan atlet nasional dan masyarakat sekitarnya.

Di tengah masa keemasannya, banyak pejabat ataupun tokoh masyarakat yang mencicipi baksonya. Bahkan karena popularitasnya, Widyanto memperoleh kemudahan membuka beberapa gerai di lingkungan Senayan. Selain di halaman Gedung Bulutangkis, Widyanto juga memperoleh izin menyewa lahan untuk buka warung bakso di Kelurahan Lapangan Tembak Senayan yang ditempatinya hingga sekarang. Setidaknya ada 7 cabang warung yang berhasil dikembangkan Widyanto hingga 1998.

Namun, perjalanan bisnis Widyanto tidak berlangsung mulus. Seperti kata pepatah, semakin tinggi semakin kencang tiupan anginnya. Begitu pula Widyanto. Ia pun sempat digerogoti oleh masalah hengkangnya anak buah mendirikan warung bakso sendiri. Atau bahkan ketika kerusuhan Mei 1998, ia terkena imbasnya. Gerai baksonya di Pasar Minggu tak luput dari amukan massa. Kegagalan masih menggelayuti usaha Widyanto. Beberapa tahun kemudian cabang baksonya di Roxy Mas dan Kelapa Gading juga tidak mendatangkan banyak profit. “Saya sadari, kegagalan ini karena saya salah strategi memilih lokasi yang tepat,” pengusaha kelahiran Wonogiri, 15 Juni 1949 ini mengeluhkan.

Setelah berhasil menata kembali warung-warung baksonya yang tersisa, mulai tahun 2002 Widyanto mengubah strategi. Ia menetapkan bakso Lapangan Tembak harus berkembang, dan mengubah posisinya sebagai bakso untuk kalangan menengah-atas. Karena itu, ia nekat membukai gerai di Mal Pluit. Rupanya sambutan konsumen antusias, sehingga Widyanto tertantang untuk terus mengembangkan ke pusat perbelanjaan.

Meski berani masuk mal, bukan berarti Bakso Lapangan Tembak tanpa perhitungan. Bagi Widyanto, masuk ke mal juga butuh analisis yang matang, bukan sekadar mengatrol gengsi. Itulah sebabnya ia pun memperhitungkan faktor biaya sewa gerai, ekspektasi animo pengunjung, omset dan pengeluaran operasional.

Menurut Widyanto jumlah pengunjung Bakso Lapangan Tembak Senayan tergantung pada lokasi gerainya. Katakanlah di mal, kalau dipukul rata pengunjungnya di kisaran 500-1.000 orang per hari. Lokasi bukan mal yang penjualannya bagus juga terjadi di cabang Cipete. “Dalam sehari konsumsi daging di sini 10-20 kg (1 kg menghasilkan 60 biji bakso). Selain lokasinya strategis, gerai ini dekat bengkel onderdil, kantor bank dan Depdiknas,” ujar Tommy, teman sejawat Widyanto yang dipercaya mengelola cabang bakso Cipete.

Dengan strategi promosi dari mulut ke mulut, tidak hanya pelanggan lama yang loyal, tapi juga mampu menggaet pelanggan baru. Tak pelak jika dikalkulasi, saat ini jaringan bakso yang dibesut Widyanto itu beranak pinak menjadi 65 cabang melalui waralaba. Sebanyak 25 gerai berada di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan sisanya di seluruh wilayah Indonesia (kecuali Bali dan Papua).

Ada beberapa jurus yang membuat jumlah pelanggan Bakso Lapangan Tembak Senayan terus bertambah. Pertama, untuk variasi produk, ditawarkan menu-menu baru di luar bakso, semisal sapi lada hitam, Chinese food dan lainnya. Sekarang total menunya sekitar 50 sajian. Kedua, harga dibanderol tidak seragam, disesuaikan dengan tingkat perekonomian masing-masing daerah. Yang pasti tarif menunya dari yang terendah Rp 11 ribu dan tertinggi Rp 15 ribu per porsi. Ketiga, kiat menjaga kualitas. Caranya sedari awal punya komitmen tidak menggunakan bahan kimia sebagai pengawet. Untuk itu tiap hari baksonya diproduksi dari daging dan adonan segar. Bahkan untuk menstandarkan mutu baksonya, di semua cabang bakso yang ada di daerah menggunakan koki yang langsung didatangkan dari Jakarta. “Sebelum diterjunkan ke daerah para koki harus dilatih selama satu bulan. Koki yang dipilih adalah koki yang sudah punya pengalaman masak di restoran, sehingga karakteristik rasa baksonya di semua daerah sama,” papar Widyanto.

Soal rasa unik Bakso Lapangan Tembak Senayan diamini oleh Yanti Nisro. Bagi Direktur AC Nielsen ini makan bakso wajib dua hari sekali. “Untuk Bakso Lapangan Tembak Senayan paling tidak sebulan dua kali, karena rumah saya jauh di Kemang. Favorit saya makan di cabang utama Gelora Senayan, karena tetelannya lebih banyak. Ini bakso pinggir jalan yang disajikan di tempat lebih bersih,” ia menuturkan.

Tingginya minat investor untuk bergabung dengan Bakso Lapangan Tembak Senayan disambut hangat oleh Widyanto. Makanya ia bersedia mengembangkan waralaba dengan catatan sistemnya semifranchise. “Dengan semifranchise, saya masih bisa ikut mengelola dan mengontrol citarasa serta manajemen franchise-nya,” katanya. Secara periodik, Widyanto berkomunikasi dan mengadakan rapat dengan para franchisee-nya. Sayang, ia enggan memaparkan angka pasti pembagian keuntungan dengan mitra franchisee-nya. Yang jelas, untuk membuka sebuah gerai baru dibutuhkan dana minimum Rp 360 juta per tahun, sebagian untuk sewa gerai di mal seluas 150 m2. “Setidaknya harus menyediakan modal sekitar Rp 1,8 miliar untuk kerja sama lima tahun. Itu pun belum termasuk biaya pengadaan aksesori toko dan pengecatan,” ungkap Widyanto. Meski biayanya lumayan tinggi, hal ini tidak menyurutkan minat investor. Buktinya dari 65 gerai baksonya, lebih dari separuhnya merupakan hasil pola waralaba.

Goenardjoadi Goenawan, penulis buku Manajemen Berbasis Nurani dan juga pengamat pemasaran, mengingatkan walaupun Widyanto menerapkan sistem semifranchise, tetap perlu dibentuk manajemen yang lebih profesional. Tujuannya untuk mengantisipasi iklim dan perubahan bisnis yang tidak menentu di masa mendatang. “Mungkin sekarang Bakso Lapangan Tembak Senayan baik-baik saja. Tapi siapa tahu apa yang terjadi esok dengan banyaknya cabang,” kata Goenardjoadi. Dengan aturan main yang jelas dan selektif memilih mitra franchisee, tidak mustahil bisnis bakso Widyanto tetap eksis dan makin maju.

Bagi musisi Purwatjaraka, ia tidak peduli sistem semifranchise. Itu hanya istilah bentuk kerja sama. “Yang penting kebijakan Pak Widyanto cukup baik dan mempunyai semangat membangun kerja sama,” tutur kakak dari penyanyi Tri Utami ini. Ia tertarik menjadi investor karena penggemar Bakso Lapangan Tembak Senayan dikenal fanatik, sehingga memudahkan penjualan, lidahnya cocok dengan rasa yang disajikan bakso ini, didorong semangat belajar bisnis, serta sistem kerja sama yang tidak memberatkan. Setelah membuka gerai bakso di Rest Area 57 Cikampek pada September 2006, rencananya Purwatjaraka bakal buka lagi di tempat lain.

Setumpuk agenda bisnis sudah dirancang Widyanto guna melebarkan sayap bisnisnya ke depan. “Antara lain di tahun mendatang kami rencanakan membuka 30 cabang Bakso Lapangan Tembak Senayan di luar negeri, seperti Malaysia, Singapura dan Arab Saudi,” ucapnya. Realisasi jangka pendek, tahun ini akan dibuka lima gerai di Malaysia dengan menggandeng investor asal negeri jiran itu. Juga, guna memayungi puluhan gerai di dalam dan luar negeri, Widyanto merasa perlu membenahi manajemennya lebih profesional. Terhitung Februari 2007 ia meresmikan berdirinya PT Balats yang berkantor di Apartemen Bellezza, Permata Hijau.

Abdurrahman Toekiman, pemilik jaringan gerai Bakso Kota Malang, mengakui kehebatan naluri bisnis Widyanto menggelindingkan Bakso Lapangan Tembak Senayan. “Perkembangannya bagus baik yang di dalam maupun luar Pulau Jawa,” kata pengusaha yang dikenal dengan panggilan Cak Man itu. Ia menambahkan, “Tempatnya strategis. Dan pesatnya perkembangan, salah satunya dipicu oleh kebijakan tidak bergabung dengan gerai makanan lain di food court, tapi berdiri sendiri. Manajemennya tahu betul apa yang diinginkan pelanggan.”

Walaupun Bakso Lapangan Tembak Senayan bisa dikatakan sebagai pesaing, Cak Man tidak merasa terganggu. “Masing-masing punya segmen pelanggan sendiri dengan keunggulan menu sendiri,” imbuh Cak Man, yang juga mendapat tawaran membuka gerai waralaba di Malaysia dan Singapura.

Reportase: Rias Andriati.
EVA

Bisnis Elektronik di Pasar Gelap Makin Merajalela

SWA 29 Maret 2007


Pasar elektronik black market di Tanah Air skalanya semakin masif, perputarannya mencapai triliunan rupiah per tahun. Banyak pengusaha terlibat, termasuk para distributor resmi. Kok bisa?


Awal bulan ini, penulis mendengar kekagetan seorang ekspatriat mengenai temuan riset dari sebuah LSM ihwal perkembangan pasar elektronik black market (BM) di Indonesia. Warga negara asing asal Uni Eropa itu geleng-geleng kepala membaca hasil riset yang dikeluarkan LSM bernama KAMPAR yang menyatakan: 92,5% dari total handset ponsel impor di Indonesia (sama dengan 9,25 juta unit) masuk melalui prosedur importasi yang ilegal. Dalam bahasa umumnya, produk BM alias pasar gelap. Sementara, handset ponsel yang diimpor secara legal hanyalah sekitar 750 ribu unit atau 7,5%. Ironis memang, karena kerugian negara akibat lolosnya barang-barang ponsel selundupan ini mencapai Rp 1,8 triliun per tahun. Ini belum termasuk produk-produk elektronik lain di luar ponsel yang juga sangat marak di pasar gelap.

Kekagetan ekspat yang bekerja di organisasi underbow Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta itu sebenarnya bisa dimengerti. Bahkan, sebagian besar konsumen Indonesia mungkin juga tak menyadari dahsyatnya penetrasi produk elektronik ilegal. Umumnya, mereka baru tersentak kesadarannya bahwa ia telah membeli produk BM setelah mengalami kesulitan meminta garansi servis ketika produknya rusak. Hasil riset dari KAMPAR tersebut sejatinya tak bisa dikatakan melebih-lebihkan. Sebab kenyataannya, dari observasi SWA, di sejumlah pusat perdagangan elektronik di Jakarta, fenomena pasar gelap memang bukan isapan jempol.

Malah, belakangan ini skala bisnis produk elektronik pasar gelap makin menjadi-jadi. Tak hanya ponsel, tapi juga segmen elektronik lainnya, seperti televisi, kamera, notebook, dan sebagainya. Dick Chandra Adrianus, Chief Operation Officer Electronic Solution (ritel bidang elektronik konsumer) mengakui, produk elektronik BM di Tanah Air memang makin banyak, meskipun di konter miliknya sama sekali tak menjual barang semacam ini. Penyerapan barang BM di Indonesia sekitar 20% – menurut kalkulasi konservatif Dick. Sementara di produk ponsel, pasar BM memang paling menggurita. “Minimum 40%, tapi ada juga yang bilang, persentase BM dibanding yang resmi justru lebih banyak BM, berarti lebih dari 50%,” tutur seorang general manager di perusahaan distributor ponsel yang enggan dikutip namanya.

Bila ditelusuri, sebenarnya pasar BM merupakan fenomena yang terjadi di semua negara di dunia. Jadi, tak hanya di Indonesia.Tentunya tak lepas dari hukum pasar, manakala ada permintaan yang muncul, penawaran akan segera datang mengiringi. Hanya saja, di Indonesia produk BM memang lebih leluasa bergerak. Yang mengagetkan, ternyata produk itu sudah mulai dipasarkan di gerai modern seperti Giant. Belum lama ini ada kasus komplain dari konsumen yang membeli produk HP BM via Giant Semanggi yang kemudian kesulitan meminta jasa servis setelah HP-nya rusak. Maklum, ternyata distributornya tidak resmi, dan bukan pula distributor besar.

Bagi konsumen, salah satu cara untuk menelusuri sebuah produk termasuk resmi ataukah BM, bisa ditanyakan layanan pascajual dan garansinya. Kalau disebutkan ada garansi prinsipal, misalnya garansi Nokia, garansi Siemens, atau garansi Samsung, berarti produk itu memang resmi. Namun kalau dikatakan ada garansinya, tapi dari distributor atau bahkan ada yang bilang garansi toko, hampir bisa dipastikan bahwa produk itu ilegal. Dan sekarang, kalau kebetulan Anda belanja di pusat-pusat penjualan produk elektronik seperti di pusat HP di Roxy, biasanya Anda akan ditanya: mau cari yang garansi prinsipal atau garansi distributor dan toko. Maklum, di sana jumlah produk garansi distributor dan garansi toko memang cukup berimbang dengan produk resminya.

Anehnya, meski produk BM tidak digaransi prinsipal alias hanya ada garansi distributor atau toko, konsumen tetap saja memburunya. Pemicunya, apalagi kalau bukan alasan harga. Produk BM memang dijual dengan harga yang miring. “Untuk produk HP, selisih harga antara yang BM dan resmi berkisar 10%-15%. Untuk kamera bisa 15%-20%,” papar Dick seraya memberi contoh harga kamera Sony legal sekitar Rp 5 juta, sedangkan produk BM-nya Rp 4 jutaan. Malahan, menurut pengamatan SWA, di beberapa pusat penjualan HP, harga produk BM bisa lebih miring. Di gerai HP berinisial SC di Mal Ambassador Kuningan misalnya, harga HP Nokia N 70 (3G) bisa ditawarkan menjadi Rp 2,5 juta, padahal harga produk yang lagi ngetren ini di distributor resmi Rp 3,5 juta. Tak heran, konsumen tak takut membelinya meski tak ada garansi dari prinsipal. “Ngapain takut. Produk HP bermerek seperti ini kenyataannya kan jarang sekali rusak. Nggak perlu garansi-garansianlah,” ujar Dedy Inanto, manajer sebuah pabrik di Cikarang yang menggenggam HP yang dibeli dari pasar gelap.

Bila diamati, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi makin maraknya pasar elektronik BM di negeri ini, antara lain, karena adanya selisih harga yang tinggi antara harga produk di tingkat ritel di negeri ini dengan harga di tingkat distributor dan dealer di sejumlah negeri lain – termasuk Singapura, Korea, Hong Kong dan Jepang. Juga, diperparah dengan konfigurasi bisnis di sejumlah negara yang kemudian membawa efek negatif bagi Indonesia – contohnya, kasus Jepang.

Di Negeri Matahari Terbit itu harga ponsel begitu murah dan peran distributor ponsel begitu marginal, sebab yang dominan di sana memang operator. Di negara itu harga ponsel bahkan di bawah Rp 50 ribu, tapi biasanya di-bundling dengan jasa operator – misalnya selama dua tahun harus pakai Docomo. Maka, bagi para distributor dan pengusaha HP di Jepang, pasar domestik tidak lagi terlalu menarik disebabkan karakteristiknya yang operator driven. Itu sebabnya, kemudian mereka “membuang” produknya ke luar negeri. Pada gilirannya itu akan menjadi produk murah meriah yang sangat menguntungkan untuk diimpor dan dipasarkan ke Indonesia oleh sejumlah pengusaha.

Terlebih, jika menjual produk resmi, baik distributor maupun pengecer tidak bisa leluasa menetapkan margin keuntungan. Maklum, jika harus melalui pola distributorship resmi, biasanya pihak prinsipal (kantor perwakilan vendor di Indonesia – misalnya Nokia Indonesia, Samsung Electronic Indonesia, Sony Indonesia, LG Indonesia, SonyEricsson Indonesia, dan lainnya) akan menetapkan harga batas maksimum-minimum. Ini belum termasuk pajak yang harus mereka tanggung. Khususnya soal pajak, benar-benar menjadi momok bagi pengusaha. Maklum, tarif pajaknya saja di kisaran 12,5%-17,5%, sehingga mendorong pengusaha berupaya menghindarinya dengan segala cara, salah satunya, mengimpor produk tapi lolos dari pengenaan pajak.

Selama ini, modus operandi yang dilakukan para importir gelap hingga bisa lolos dari pajak (bea dan cukai) amat beragam. Ada yang kongkalikong dengan petugas bea cukai, misalnya seorang pengusaha sebenarnya mengimpor 2 ribu unit televisi, tetapi yang dilaporkan dan dimasukkan dalam database (didata oleh petugas) hanya seribu unit, atau bahkan 750 unit saja. Berarti sisanya lolos pajak, alias menjadi produk BM. Cara lainnya, mengelabuhi petugas bea cukai, misalnya HP yang diimpor tidak dikemas satu per satu seperti aslinya dari pabrik, melainkan sudah disatukan dan dikumpulkan lebih dulu dalam beberapa kardus yang jumlahnya lebih sedikit, dan bila perlu tidak mengesankan bahwa yang dikemas itu produk HP. Maka, jangan heran ketika membeli produk HP dengan garansi distributor atau garansi dealer, biasanya kemasannya tak sebagus produk yang bergaransi prinsipal. Bahkan kadang-kadang kemasannya cuma kotak putih polos, meski produknya memang baru. Maklum, produk-produk BM itu sering kali dikemas ulang oleh importirnya di Indonesia setelah lolos dari sensor pajak.

Bila ditelesuri lebih jauh, untuk produk non-HP yang beredar di pasar BM kebanyakan harganya di atas Rp 3 juta per unit. Bukankah semakin tinggi harganya, besarnya pajak barang mewah (PBM) juga makin besar, sehingga mereka bisa bermain margin dan harga. Untuk produk kamera misalnya, Dick memberi contoh, jarang sekali ada kamera BM dengan resolusi di bawah 4 megapiksel. Untuk produk elektronik yang perputarannya tidak cepat, hampir pasti hanya produk high end yang banyak beredar di BM. Mereka pasti berpikir dua kali untuk memasukkan produk low end. “Sebab marginnya bisa-bisa tak sebanding dengan risikonya kalau-kalau tertangkap,” tutur Dick.

Ini berbeda dari produk ponsel yang memang turnover-nya sangat cepat, dan industrinya sedang panas-panasnya. Di segmen produk HP, pasar BM terbesar justru produk low end, meskipun produk high end tak bisa dibilang sedikit. Semua tipe HP yang sedang laris pasti bisa ditemui di pasar gelap. Perputaran BM low end lebih besar karena peminatnya lebih banyak, sehingga perputaran uangnya juga lebih cepat. “Walaupun keuntungan dari tiap unitnya kecil, jumlah unit yang bisa mereka jual mencapai ribuan. Mereka bisa jual sebanyak 10 ribu unit untuk seri tertentu,” kata seorang pemilik kios HP di Roxy yang juga memasarkan produk BM. Menurut sumber itu, rata-rata pedagang HP BM bisa mendapatkan untung Rp 40-50 ribu per unit. Bahkan, importir atau distributornya bisa menangguk untung lebih gede.

Para importir ilegal bisa masuk melalui dua celah untuk memperoleh keuntungan. Pertama, dari pajak yang tidak dibayar, setidaknya 12,%-17,5% (tergantung harga per unit). Kedua, margin mereka juga bisa lebih bagus karena mendapatkan pasokan yang murah di luar negeri, kendati dijual dengan harga jauh lebih rendah dari produk resmi. Tak heran, karena sedemikian menggiurkannya, menurut observasi SWA, kini banyak distributor resmi, selain menjual produk impor legal, juga menjual yang ilegal. Sejumlah pemain menyebut dirinya sebagai distributor sepanyol (separo nyolong). “Biasanya itu sebagai strategi subsidi silang untuk menambah margin keuntungan,” kata Dick mengomentari fenomena itu.

Menurut informasi yang berhasil dikumpulkan SWA, bahwasanya distributor resmi juga bermain di pasar BM memang bukan kabar angin. Hanya saja, produk yang diimpor secara ilegal itu belum tentu sama dengan merek resmi yang mereka pasarkan. Namun, tentunya ada pula yang mengimpor ilegal sama dengan merek resmi yang didistribusikannya. Dalam hal ini prinsipalnya bisa jadi tak tahu, atau bisa juga tahu tapi tak bisa melakukan tindakan apa-apa, karena penjualan produk resminya sangat tergantung pada distributor yang juga main BM itu. Sementara kebanyakan pemain BM ponsel lebih suka mengimpor Nokia, sebab produk ini paling laris. Kebanyakan mereka mengorder barang dari Hong Kong dan Singapura.

“Ya, kami terpaksa melakukannya meskipun porsi BM kami hanya 10%-20%. Kalau nggak gitu bagaimana mungkin kami bisa berkompetisi dengan mereka yang memasukkan barang tanpa pajak sama sekali, Mas! Dari sisi harga saja sudah njomplang. Kami yang resmi kalah,” ujar seorang presdir di sebuah perusahaan distributor resmi HP merek terkemuka yang ditemui SWA dua minggu lalu. Lebih lanjut ia mengungkapkan, “Sebenarnya kalau regulasi dan penegakannya di sini berjalan baik, dan semua diperlakukan adil, kami akan menjadi pengusaha pertama yang taat pada aturan resmi. Kami akan taat bayar pajak. Tapi karena kenyataannya seperti sekarang, terpaksa kami juga ikut main BM supaya survive.”

Memang, apologi pengusaha tersebut tidak sepenuhnya salah. Sudah bukan rahasia lagi, birokrasi pemerintah – lebih tepatnya, para oknumnya – sering kali melakukan hal yang menyebalkan. Mengenakan berbagai pungutan kepada pengusaha, tapi kenyataannya tak masuk kas negara, melainkan ke kantong pribadi. Kalangan pengusaha juga mengeluhkan PBM yang dikenakan pada produk elektronik di Indonesia terbilang tinggi, ada yang di atas 15% – bandingkan dengan Singapura yang hanya 10%.

Di lain sisi pihak birokrasi yang berwenang tak jarang pula membela diri dan balik menyerang kalau jajarannya ada yang melakukan itu, karena memang dirangsang oleh para pengusaha yang agresif memberi “upeti”. Akibatnya, penanganan produk BM tak pernah bisa dibereskan. Tak sedikit pejabat yang menyarankan seharusnya pengusaha juga jangan suka memacing-mancing petugas untuk melakukan hal yang ilegal dengan memberi uang. Jadi, menurut mereka, pengusahalah yang memulai menentukan peredaran produk BM.

Betapapun hal ini merupakan sebuah perdebatan yang cukup ironis. Terutama bila perdebatannya masih seputar siapa yang memicu pasar BM, dan siapa yang harus mulai bertanggung jawab melakukan pembenahan: pengusaha ataukah pemerintah. Hal ini tak ubahnya perdebatan tentang mana yang lebih dulu ada: ayam ataukah telur. Suatu misteri yang sebenarnya tidak terlalu banyak manfaatnya untuk dijawab. Agaknya, kini, semua pihak – baik pengusaha maupun pemerintah – memang harus bersama-sama memulai menghilangkan praktik impor ilegal ini dengan sepenuh komitmen, bukan sekadar lip service. Pengusaha menghentikan petak umpet impor ilegal dengan segala sogokannya yang biasa dilakukan, sedangkan awak birokrasi harus belajar bersih, amanah dan taat aturan.

Bagi para penegak hukum, ada baiknya belajar dari penanganan kasus BM di Negara Bagian Florida, Amerika Serikat, setahun lalu. Pada 30 Mei 2006, Nokia di AS sukses memenangi tuntutan kepada importir barang BM Nokia beserta aksesori palsu di Florida. Pelaku bisnis BM Nokia yang diseret ke pengadilan itu adalah perusahaan yang bernama Suplimet yang dijalankan oleh Hermann Lozano dan Xavier Lozano (kakak-beradik). Oleh pengadilan, pelaku BM itu akhirnya dikenai hukuman denda sebesar US$ 1,36 juta atau sekitar Rp 12,6 miliar, serta hukuman penjara selama 72 bulan. Sebuah ganjaran yang setimpal, tentu saja.

Reportase: Rias Andriati.

DMA