Monday, July 9, 2007

Dari Bakso Gerobak Menuju Mancanegara

Berdagang bakso keliling sejak tahun 1970, tidak terpikir oleh Widyanto akan menjadi bos dari 65 gerai jaringan Bakso Lapangan Tembak Senayan dan mempekerjakan 2 ribu karyawan. Bahkan, hendak ekspansi 30 cabang ke luar negeri.

Bagi Ki Ageng Widyanto Suryo Buwono – nama yang dianugerahkan Sultan Hamengkuwono IX tahun 1980-an – menjadi pengusaha pada 37 tahun silam adalah mimpi di siang bolong. Bagaimana tidak, pada saat itu – sekitar tahun 1970-an – ia hanya mengisi hari-harinya dengan berdagang bakso ala kadarnya. Pekerjaan itu pun dilakoni lantaran impitan tekanan ekonomi yang pas-pasan. Harapan kerja kantoran dibuang jauh-jauh, karena ia hanya mengantongi ijazah STM 1 Solo.

“Bakso adalah makanan yang simpel dan siapa pun bisa makan. Bisa sebagai camilan dan mengenyangkan perut,” ujar lelaki yang akrab disapa Widyanto itu. Maka, ia pun mulai berdagang bakso pikul di Solo. Tidak puas dengan hasil jualan di Solo, pada 1971 ia memutuskan hijrah ke Jakarta.

Setiap hari Widyanto keluar-masuk kampung menjajakan bakso pikulnya. Di siang hari, biasanya ia mengelilingi gang kampung Petamburan, Slipi, Pejompongan dan Gelora Senayan. Dan malam harinya, ia biasa mangkal di kawasan Lapangan Tembak Senayan (kini telah berubah menjadi Hotel Mulia – Red.)

Rupanya dari Lapangan Tembak itulah, Widyanto menemukan pelanggan-pelanggan yang ketagihan dengan baksonya. Saat itu, pelanggan menyebutnya sebagai bakso ala Jowo. Sehingga akhirnya, di tahun 1982 ia memutuskan mangkal tiap hari di luar pagar kompleks Lapangan Tembak Senayan.

Dewi Fortuna berpihak padanya, karena tahun 1983 ia diizinkan memboyong gerobak baksonya ke dalam kompleks, dan sejak itu baksonya dikenal masyarakat dengan sebutan Bakso Lapangan Tembak Senayan. Jika ingat pada waktu itu, warung bakso yang berada di lokasi parkir itu dipenuhi oleh mobil yang ingin jajan di sana. Para tamu rela makan sambil berdiri atau bahkan makan bakso di mobil masing-masing karena tidak mendapatkan tempat duduk. Dan sudah menjadi pemandangan lazim, setiap sore para atlet pelatnas (atletik, bulutangkis, renang, menembak dan sebagainya) terlihat makan dan kongko-kongko di sana. Pendeknya, warung bakso Lapangan Tembak ini ngetop di kalangan atlet nasional dan masyarakat sekitarnya.

Di tengah masa keemasannya, banyak pejabat ataupun tokoh masyarakat yang mencicipi baksonya. Bahkan karena popularitasnya, Widyanto memperoleh kemudahan membuka beberapa gerai di lingkungan Senayan. Selain di halaman Gedung Bulutangkis, Widyanto juga memperoleh izin menyewa lahan untuk buka warung bakso di Kelurahan Lapangan Tembak Senayan yang ditempatinya hingga sekarang. Setidaknya ada 7 cabang warung yang berhasil dikembangkan Widyanto hingga 1998.

Namun, perjalanan bisnis Widyanto tidak berlangsung mulus. Seperti kata pepatah, semakin tinggi semakin kencang tiupan anginnya. Begitu pula Widyanto. Ia pun sempat digerogoti oleh masalah hengkangnya anak buah mendirikan warung bakso sendiri. Atau bahkan ketika kerusuhan Mei 1998, ia terkena imbasnya. Gerai baksonya di Pasar Minggu tak luput dari amukan massa. Kegagalan masih menggelayuti usaha Widyanto. Beberapa tahun kemudian cabang baksonya di Roxy Mas dan Kelapa Gading juga tidak mendatangkan banyak profit. “Saya sadari, kegagalan ini karena saya salah strategi memilih lokasi yang tepat,” pengusaha kelahiran Wonogiri, 15 Juni 1949 ini mengeluhkan.

Setelah berhasil menata kembali warung-warung baksonya yang tersisa, mulai tahun 2002 Widyanto mengubah strategi. Ia menetapkan bakso Lapangan Tembak harus berkembang, dan mengubah posisinya sebagai bakso untuk kalangan menengah-atas. Karena itu, ia nekat membukai gerai di Mal Pluit. Rupanya sambutan konsumen antusias, sehingga Widyanto tertantang untuk terus mengembangkan ke pusat perbelanjaan.

Meski berani masuk mal, bukan berarti Bakso Lapangan Tembak tanpa perhitungan. Bagi Widyanto, masuk ke mal juga butuh analisis yang matang, bukan sekadar mengatrol gengsi. Itulah sebabnya ia pun memperhitungkan faktor biaya sewa gerai, ekspektasi animo pengunjung, omset dan pengeluaran operasional.

Menurut Widyanto jumlah pengunjung Bakso Lapangan Tembak Senayan tergantung pada lokasi gerainya. Katakanlah di mal, kalau dipukul rata pengunjungnya di kisaran 500-1.000 orang per hari. Lokasi bukan mal yang penjualannya bagus juga terjadi di cabang Cipete. “Dalam sehari konsumsi daging di sini 10-20 kg (1 kg menghasilkan 60 biji bakso). Selain lokasinya strategis, gerai ini dekat bengkel onderdil, kantor bank dan Depdiknas,” ujar Tommy, teman sejawat Widyanto yang dipercaya mengelola cabang bakso Cipete.

Dengan strategi promosi dari mulut ke mulut, tidak hanya pelanggan lama yang loyal, tapi juga mampu menggaet pelanggan baru. Tak pelak jika dikalkulasi, saat ini jaringan bakso yang dibesut Widyanto itu beranak pinak menjadi 65 cabang melalui waralaba. Sebanyak 25 gerai berada di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan sisanya di seluruh wilayah Indonesia (kecuali Bali dan Papua).

Ada beberapa jurus yang membuat jumlah pelanggan Bakso Lapangan Tembak Senayan terus bertambah. Pertama, untuk variasi produk, ditawarkan menu-menu baru di luar bakso, semisal sapi lada hitam, Chinese food dan lainnya. Sekarang total menunya sekitar 50 sajian. Kedua, harga dibanderol tidak seragam, disesuaikan dengan tingkat perekonomian masing-masing daerah. Yang pasti tarif menunya dari yang terendah Rp 11 ribu dan tertinggi Rp 15 ribu per porsi. Ketiga, kiat menjaga kualitas. Caranya sedari awal punya komitmen tidak menggunakan bahan kimia sebagai pengawet. Untuk itu tiap hari baksonya diproduksi dari daging dan adonan segar. Bahkan untuk menstandarkan mutu baksonya, di semua cabang bakso yang ada di daerah menggunakan koki yang langsung didatangkan dari Jakarta. “Sebelum diterjunkan ke daerah para koki harus dilatih selama satu bulan. Koki yang dipilih adalah koki yang sudah punya pengalaman masak di restoran, sehingga karakteristik rasa baksonya di semua daerah sama,” papar Widyanto.

Soal rasa unik Bakso Lapangan Tembak Senayan diamini oleh Yanti Nisro. Bagi Direktur AC Nielsen ini makan bakso wajib dua hari sekali. “Untuk Bakso Lapangan Tembak Senayan paling tidak sebulan dua kali, karena rumah saya jauh di Kemang. Favorit saya makan di cabang utama Gelora Senayan, karena tetelannya lebih banyak. Ini bakso pinggir jalan yang disajikan di tempat lebih bersih,” ia menuturkan.

Tingginya minat investor untuk bergabung dengan Bakso Lapangan Tembak Senayan disambut hangat oleh Widyanto. Makanya ia bersedia mengembangkan waralaba dengan catatan sistemnya semifranchise. “Dengan semifranchise, saya masih bisa ikut mengelola dan mengontrol citarasa serta manajemen franchise-nya,” katanya. Secara periodik, Widyanto berkomunikasi dan mengadakan rapat dengan para franchisee-nya. Sayang, ia enggan memaparkan angka pasti pembagian keuntungan dengan mitra franchisee-nya. Yang jelas, untuk membuka sebuah gerai baru dibutuhkan dana minimum Rp 360 juta per tahun, sebagian untuk sewa gerai di mal seluas 150 m2. “Setidaknya harus menyediakan modal sekitar Rp 1,8 miliar untuk kerja sama lima tahun. Itu pun belum termasuk biaya pengadaan aksesori toko dan pengecatan,” ungkap Widyanto. Meski biayanya lumayan tinggi, hal ini tidak menyurutkan minat investor. Buktinya dari 65 gerai baksonya, lebih dari separuhnya merupakan hasil pola waralaba.

Goenardjoadi Goenawan, penulis buku Manajemen Berbasis Nurani dan juga pengamat pemasaran, mengingatkan walaupun Widyanto menerapkan sistem semifranchise, tetap perlu dibentuk manajemen yang lebih profesional. Tujuannya untuk mengantisipasi iklim dan perubahan bisnis yang tidak menentu di masa mendatang. “Mungkin sekarang Bakso Lapangan Tembak Senayan baik-baik saja. Tapi siapa tahu apa yang terjadi esok dengan banyaknya cabang,” kata Goenardjoadi. Dengan aturan main yang jelas dan selektif memilih mitra franchisee, tidak mustahil bisnis bakso Widyanto tetap eksis dan makin maju.

Bagi musisi Purwatjaraka, ia tidak peduli sistem semifranchise. Itu hanya istilah bentuk kerja sama. “Yang penting kebijakan Pak Widyanto cukup baik dan mempunyai semangat membangun kerja sama,” tutur kakak dari penyanyi Tri Utami ini. Ia tertarik menjadi investor karena penggemar Bakso Lapangan Tembak Senayan dikenal fanatik, sehingga memudahkan penjualan, lidahnya cocok dengan rasa yang disajikan bakso ini, didorong semangat belajar bisnis, serta sistem kerja sama yang tidak memberatkan. Setelah membuka gerai bakso di Rest Area 57 Cikampek pada September 2006, rencananya Purwatjaraka bakal buka lagi di tempat lain.

Setumpuk agenda bisnis sudah dirancang Widyanto guna melebarkan sayap bisnisnya ke depan. “Antara lain di tahun mendatang kami rencanakan membuka 30 cabang Bakso Lapangan Tembak Senayan di luar negeri, seperti Malaysia, Singapura dan Arab Saudi,” ucapnya. Realisasi jangka pendek, tahun ini akan dibuka lima gerai di Malaysia dengan menggandeng investor asal negeri jiran itu. Juga, guna memayungi puluhan gerai di dalam dan luar negeri, Widyanto merasa perlu membenahi manajemennya lebih profesional. Terhitung Februari 2007 ia meresmikan berdirinya PT Balats yang berkantor di Apartemen Bellezza, Permata Hijau.

Abdurrahman Toekiman, pemilik jaringan gerai Bakso Kota Malang, mengakui kehebatan naluri bisnis Widyanto menggelindingkan Bakso Lapangan Tembak Senayan. “Perkembangannya bagus baik yang di dalam maupun luar Pulau Jawa,” kata pengusaha yang dikenal dengan panggilan Cak Man itu. Ia menambahkan, “Tempatnya strategis. Dan pesatnya perkembangan, salah satunya dipicu oleh kebijakan tidak bergabung dengan gerai makanan lain di food court, tapi berdiri sendiri. Manajemennya tahu betul apa yang diinginkan pelanggan.”

Walaupun Bakso Lapangan Tembak Senayan bisa dikatakan sebagai pesaing, Cak Man tidak merasa terganggu. “Masing-masing punya segmen pelanggan sendiri dengan keunggulan menu sendiri,” imbuh Cak Man, yang juga mendapat tawaran membuka gerai waralaba di Malaysia dan Singapura.

Reportase: Rias Andriati.
EVA

No comments: