Monday, July 9, 2007

Bisnis Elektronik di Pasar Gelap Makin Merajalela

SWA 29 Maret 2007


Pasar elektronik black market di Tanah Air skalanya semakin masif, perputarannya mencapai triliunan rupiah per tahun. Banyak pengusaha terlibat, termasuk para distributor resmi. Kok bisa?


Awal bulan ini, penulis mendengar kekagetan seorang ekspatriat mengenai temuan riset dari sebuah LSM ihwal perkembangan pasar elektronik black market (BM) di Indonesia. Warga negara asing asal Uni Eropa itu geleng-geleng kepala membaca hasil riset yang dikeluarkan LSM bernama KAMPAR yang menyatakan: 92,5% dari total handset ponsel impor di Indonesia (sama dengan 9,25 juta unit) masuk melalui prosedur importasi yang ilegal. Dalam bahasa umumnya, produk BM alias pasar gelap. Sementara, handset ponsel yang diimpor secara legal hanyalah sekitar 750 ribu unit atau 7,5%. Ironis memang, karena kerugian negara akibat lolosnya barang-barang ponsel selundupan ini mencapai Rp 1,8 triliun per tahun. Ini belum termasuk produk-produk elektronik lain di luar ponsel yang juga sangat marak di pasar gelap.

Kekagetan ekspat yang bekerja di organisasi underbow Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta itu sebenarnya bisa dimengerti. Bahkan, sebagian besar konsumen Indonesia mungkin juga tak menyadari dahsyatnya penetrasi produk elektronik ilegal. Umumnya, mereka baru tersentak kesadarannya bahwa ia telah membeli produk BM setelah mengalami kesulitan meminta garansi servis ketika produknya rusak. Hasil riset dari KAMPAR tersebut sejatinya tak bisa dikatakan melebih-lebihkan. Sebab kenyataannya, dari observasi SWA, di sejumlah pusat perdagangan elektronik di Jakarta, fenomena pasar gelap memang bukan isapan jempol.

Malah, belakangan ini skala bisnis produk elektronik pasar gelap makin menjadi-jadi. Tak hanya ponsel, tapi juga segmen elektronik lainnya, seperti televisi, kamera, notebook, dan sebagainya. Dick Chandra Adrianus, Chief Operation Officer Electronic Solution (ritel bidang elektronik konsumer) mengakui, produk elektronik BM di Tanah Air memang makin banyak, meskipun di konter miliknya sama sekali tak menjual barang semacam ini. Penyerapan barang BM di Indonesia sekitar 20% – menurut kalkulasi konservatif Dick. Sementara di produk ponsel, pasar BM memang paling menggurita. “Minimum 40%, tapi ada juga yang bilang, persentase BM dibanding yang resmi justru lebih banyak BM, berarti lebih dari 50%,” tutur seorang general manager di perusahaan distributor ponsel yang enggan dikutip namanya.

Bila ditelusuri, sebenarnya pasar BM merupakan fenomena yang terjadi di semua negara di dunia. Jadi, tak hanya di Indonesia.Tentunya tak lepas dari hukum pasar, manakala ada permintaan yang muncul, penawaran akan segera datang mengiringi. Hanya saja, di Indonesia produk BM memang lebih leluasa bergerak. Yang mengagetkan, ternyata produk itu sudah mulai dipasarkan di gerai modern seperti Giant. Belum lama ini ada kasus komplain dari konsumen yang membeli produk HP BM via Giant Semanggi yang kemudian kesulitan meminta jasa servis setelah HP-nya rusak. Maklum, ternyata distributornya tidak resmi, dan bukan pula distributor besar.

Bagi konsumen, salah satu cara untuk menelusuri sebuah produk termasuk resmi ataukah BM, bisa ditanyakan layanan pascajual dan garansinya. Kalau disebutkan ada garansi prinsipal, misalnya garansi Nokia, garansi Siemens, atau garansi Samsung, berarti produk itu memang resmi. Namun kalau dikatakan ada garansinya, tapi dari distributor atau bahkan ada yang bilang garansi toko, hampir bisa dipastikan bahwa produk itu ilegal. Dan sekarang, kalau kebetulan Anda belanja di pusat-pusat penjualan produk elektronik seperti di pusat HP di Roxy, biasanya Anda akan ditanya: mau cari yang garansi prinsipal atau garansi distributor dan toko. Maklum, di sana jumlah produk garansi distributor dan garansi toko memang cukup berimbang dengan produk resminya.

Anehnya, meski produk BM tidak digaransi prinsipal alias hanya ada garansi distributor atau toko, konsumen tetap saja memburunya. Pemicunya, apalagi kalau bukan alasan harga. Produk BM memang dijual dengan harga yang miring. “Untuk produk HP, selisih harga antara yang BM dan resmi berkisar 10%-15%. Untuk kamera bisa 15%-20%,” papar Dick seraya memberi contoh harga kamera Sony legal sekitar Rp 5 juta, sedangkan produk BM-nya Rp 4 jutaan. Malahan, menurut pengamatan SWA, di beberapa pusat penjualan HP, harga produk BM bisa lebih miring. Di gerai HP berinisial SC di Mal Ambassador Kuningan misalnya, harga HP Nokia N 70 (3G) bisa ditawarkan menjadi Rp 2,5 juta, padahal harga produk yang lagi ngetren ini di distributor resmi Rp 3,5 juta. Tak heran, konsumen tak takut membelinya meski tak ada garansi dari prinsipal. “Ngapain takut. Produk HP bermerek seperti ini kenyataannya kan jarang sekali rusak. Nggak perlu garansi-garansianlah,” ujar Dedy Inanto, manajer sebuah pabrik di Cikarang yang menggenggam HP yang dibeli dari pasar gelap.

Bila diamati, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi makin maraknya pasar elektronik BM di negeri ini, antara lain, karena adanya selisih harga yang tinggi antara harga produk di tingkat ritel di negeri ini dengan harga di tingkat distributor dan dealer di sejumlah negeri lain – termasuk Singapura, Korea, Hong Kong dan Jepang. Juga, diperparah dengan konfigurasi bisnis di sejumlah negara yang kemudian membawa efek negatif bagi Indonesia – contohnya, kasus Jepang.

Di Negeri Matahari Terbit itu harga ponsel begitu murah dan peran distributor ponsel begitu marginal, sebab yang dominan di sana memang operator. Di negara itu harga ponsel bahkan di bawah Rp 50 ribu, tapi biasanya di-bundling dengan jasa operator – misalnya selama dua tahun harus pakai Docomo. Maka, bagi para distributor dan pengusaha HP di Jepang, pasar domestik tidak lagi terlalu menarik disebabkan karakteristiknya yang operator driven. Itu sebabnya, kemudian mereka “membuang” produknya ke luar negeri. Pada gilirannya itu akan menjadi produk murah meriah yang sangat menguntungkan untuk diimpor dan dipasarkan ke Indonesia oleh sejumlah pengusaha.

Terlebih, jika menjual produk resmi, baik distributor maupun pengecer tidak bisa leluasa menetapkan margin keuntungan. Maklum, jika harus melalui pola distributorship resmi, biasanya pihak prinsipal (kantor perwakilan vendor di Indonesia – misalnya Nokia Indonesia, Samsung Electronic Indonesia, Sony Indonesia, LG Indonesia, SonyEricsson Indonesia, dan lainnya) akan menetapkan harga batas maksimum-minimum. Ini belum termasuk pajak yang harus mereka tanggung. Khususnya soal pajak, benar-benar menjadi momok bagi pengusaha. Maklum, tarif pajaknya saja di kisaran 12,5%-17,5%, sehingga mendorong pengusaha berupaya menghindarinya dengan segala cara, salah satunya, mengimpor produk tapi lolos dari pengenaan pajak.

Selama ini, modus operandi yang dilakukan para importir gelap hingga bisa lolos dari pajak (bea dan cukai) amat beragam. Ada yang kongkalikong dengan petugas bea cukai, misalnya seorang pengusaha sebenarnya mengimpor 2 ribu unit televisi, tetapi yang dilaporkan dan dimasukkan dalam database (didata oleh petugas) hanya seribu unit, atau bahkan 750 unit saja. Berarti sisanya lolos pajak, alias menjadi produk BM. Cara lainnya, mengelabuhi petugas bea cukai, misalnya HP yang diimpor tidak dikemas satu per satu seperti aslinya dari pabrik, melainkan sudah disatukan dan dikumpulkan lebih dulu dalam beberapa kardus yang jumlahnya lebih sedikit, dan bila perlu tidak mengesankan bahwa yang dikemas itu produk HP. Maka, jangan heran ketika membeli produk HP dengan garansi distributor atau garansi dealer, biasanya kemasannya tak sebagus produk yang bergaransi prinsipal. Bahkan kadang-kadang kemasannya cuma kotak putih polos, meski produknya memang baru. Maklum, produk-produk BM itu sering kali dikemas ulang oleh importirnya di Indonesia setelah lolos dari sensor pajak.

Bila ditelesuri lebih jauh, untuk produk non-HP yang beredar di pasar BM kebanyakan harganya di atas Rp 3 juta per unit. Bukankah semakin tinggi harganya, besarnya pajak barang mewah (PBM) juga makin besar, sehingga mereka bisa bermain margin dan harga. Untuk produk kamera misalnya, Dick memberi contoh, jarang sekali ada kamera BM dengan resolusi di bawah 4 megapiksel. Untuk produk elektronik yang perputarannya tidak cepat, hampir pasti hanya produk high end yang banyak beredar di BM. Mereka pasti berpikir dua kali untuk memasukkan produk low end. “Sebab marginnya bisa-bisa tak sebanding dengan risikonya kalau-kalau tertangkap,” tutur Dick.

Ini berbeda dari produk ponsel yang memang turnover-nya sangat cepat, dan industrinya sedang panas-panasnya. Di segmen produk HP, pasar BM terbesar justru produk low end, meskipun produk high end tak bisa dibilang sedikit. Semua tipe HP yang sedang laris pasti bisa ditemui di pasar gelap. Perputaran BM low end lebih besar karena peminatnya lebih banyak, sehingga perputaran uangnya juga lebih cepat. “Walaupun keuntungan dari tiap unitnya kecil, jumlah unit yang bisa mereka jual mencapai ribuan. Mereka bisa jual sebanyak 10 ribu unit untuk seri tertentu,” kata seorang pemilik kios HP di Roxy yang juga memasarkan produk BM. Menurut sumber itu, rata-rata pedagang HP BM bisa mendapatkan untung Rp 40-50 ribu per unit. Bahkan, importir atau distributornya bisa menangguk untung lebih gede.

Para importir ilegal bisa masuk melalui dua celah untuk memperoleh keuntungan. Pertama, dari pajak yang tidak dibayar, setidaknya 12,%-17,5% (tergantung harga per unit). Kedua, margin mereka juga bisa lebih bagus karena mendapatkan pasokan yang murah di luar negeri, kendati dijual dengan harga jauh lebih rendah dari produk resmi. Tak heran, karena sedemikian menggiurkannya, menurut observasi SWA, kini banyak distributor resmi, selain menjual produk impor legal, juga menjual yang ilegal. Sejumlah pemain menyebut dirinya sebagai distributor sepanyol (separo nyolong). “Biasanya itu sebagai strategi subsidi silang untuk menambah margin keuntungan,” kata Dick mengomentari fenomena itu.

Menurut informasi yang berhasil dikumpulkan SWA, bahwasanya distributor resmi juga bermain di pasar BM memang bukan kabar angin. Hanya saja, produk yang diimpor secara ilegal itu belum tentu sama dengan merek resmi yang mereka pasarkan. Namun, tentunya ada pula yang mengimpor ilegal sama dengan merek resmi yang didistribusikannya. Dalam hal ini prinsipalnya bisa jadi tak tahu, atau bisa juga tahu tapi tak bisa melakukan tindakan apa-apa, karena penjualan produk resminya sangat tergantung pada distributor yang juga main BM itu. Sementara kebanyakan pemain BM ponsel lebih suka mengimpor Nokia, sebab produk ini paling laris. Kebanyakan mereka mengorder barang dari Hong Kong dan Singapura.

“Ya, kami terpaksa melakukannya meskipun porsi BM kami hanya 10%-20%. Kalau nggak gitu bagaimana mungkin kami bisa berkompetisi dengan mereka yang memasukkan barang tanpa pajak sama sekali, Mas! Dari sisi harga saja sudah njomplang. Kami yang resmi kalah,” ujar seorang presdir di sebuah perusahaan distributor resmi HP merek terkemuka yang ditemui SWA dua minggu lalu. Lebih lanjut ia mengungkapkan, “Sebenarnya kalau regulasi dan penegakannya di sini berjalan baik, dan semua diperlakukan adil, kami akan menjadi pengusaha pertama yang taat pada aturan resmi. Kami akan taat bayar pajak. Tapi karena kenyataannya seperti sekarang, terpaksa kami juga ikut main BM supaya survive.”

Memang, apologi pengusaha tersebut tidak sepenuhnya salah. Sudah bukan rahasia lagi, birokrasi pemerintah – lebih tepatnya, para oknumnya – sering kali melakukan hal yang menyebalkan. Mengenakan berbagai pungutan kepada pengusaha, tapi kenyataannya tak masuk kas negara, melainkan ke kantong pribadi. Kalangan pengusaha juga mengeluhkan PBM yang dikenakan pada produk elektronik di Indonesia terbilang tinggi, ada yang di atas 15% – bandingkan dengan Singapura yang hanya 10%.

Di lain sisi pihak birokrasi yang berwenang tak jarang pula membela diri dan balik menyerang kalau jajarannya ada yang melakukan itu, karena memang dirangsang oleh para pengusaha yang agresif memberi “upeti”. Akibatnya, penanganan produk BM tak pernah bisa dibereskan. Tak sedikit pejabat yang menyarankan seharusnya pengusaha juga jangan suka memacing-mancing petugas untuk melakukan hal yang ilegal dengan memberi uang. Jadi, menurut mereka, pengusahalah yang memulai menentukan peredaran produk BM.

Betapapun hal ini merupakan sebuah perdebatan yang cukup ironis. Terutama bila perdebatannya masih seputar siapa yang memicu pasar BM, dan siapa yang harus mulai bertanggung jawab melakukan pembenahan: pengusaha ataukah pemerintah. Hal ini tak ubahnya perdebatan tentang mana yang lebih dulu ada: ayam ataukah telur. Suatu misteri yang sebenarnya tidak terlalu banyak manfaatnya untuk dijawab. Agaknya, kini, semua pihak – baik pengusaha maupun pemerintah – memang harus bersama-sama memulai menghilangkan praktik impor ilegal ini dengan sepenuh komitmen, bukan sekadar lip service. Pengusaha menghentikan petak umpet impor ilegal dengan segala sogokannya yang biasa dilakukan, sedangkan awak birokrasi harus belajar bersih, amanah dan taat aturan.

Bagi para penegak hukum, ada baiknya belajar dari penanganan kasus BM di Negara Bagian Florida, Amerika Serikat, setahun lalu. Pada 30 Mei 2006, Nokia di AS sukses memenangi tuntutan kepada importir barang BM Nokia beserta aksesori palsu di Florida. Pelaku bisnis BM Nokia yang diseret ke pengadilan itu adalah perusahaan yang bernama Suplimet yang dijalankan oleh Hermann Lozano dan Xavier Lozano (kakak-beradik). Oleh pengadilan, pelaku BM itu akhirnya dikenai hukuman denda sebesar US$ 1,36 juta atau sekitar Rp 12,6 miliar, serta hukuman penjara selama 72 bulan. Sebuah ganjaran yang setimpal, tentu saja.

Reportase: Rias Andriati.

DMA

No comments: