Monday, July 9, 2007

Bisnis Baru: Home Schooling

Pesinetron belia yang sedang naik daun Nia Ramadhani tak perlu cemas memikirkan bangku sekolah saat syuting. Ia tidak perlu keteteran membagi hari untuk sekolah dan jadwal syuting. Pasalnya, sebagai murid E-Hughes Schooling, ia bisa tetap menimba ilmu tanpa terkurung jadwal di kelas karena mempunyai otoritas untuk menentukan jadwal belajarnya sendiri di rumah.

Memilih menjadi seorang homescooler tak hanya dilakukan Nia yang memiliki jadwal padat. Gagah Tri Darma Prasetya mengaku memilih program pembelajaran home schooling ketimbang sekolah formal karena lebih efektif. “Kalau di sekolah formal istilahnya guru menjadi sopirnya, kalau jadi homeschooler, kita sendiri yang menjadi sopirnya,” ungkap putra pemain teater Ratna Riantiarno yang sejak beberapa tahun ini tergabung dalam Kak Seto Home Schooling.

Di belahan bumi lain, terutama Barat, metode pembelajaran alternatif ini sudah lama dipakai masyarakat. Di seluruh dunia terdapat 6 juta home schooling (HS) yang tersebar di berbagai negara. Di sini, belakangan, program HS memang menjadi alternatif pembelajaran. Dalam pandangan pakar sekaligus pemerhati pendidikan, Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto, HS merupakan sekolah alternatif yang menempatkan anak-anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan secara at home. “Dengan pendekatan inilah, anak-anak merasa nyaman belajar karena mereka bisa belajar apa pun sesuai dengan keinginannya, kapan saja dan di mana saja seperti ia tengah berada di rumahnya,” katanya.

Menurut Kak Seto, meski disebut HS, tidak berarti anak terus-menerus belajar di rumah. Anak-anak bisa belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti di rumah. “Karena itu dalam sistem HS, jam pelajaran bersifat fleksibel, mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali,” imbuh pemilik Kak Seto Home Schooling (KSHS) ini.

Meski baru dibangun pada Februari lalu, peminat KSHS lumayan banyak. Saat ini KSHS melayani permintaan untuk HS anak SD dan SMU. Untuk tingkat SMP baru dibuka Juli mendatang. KSHS dimulai dengan 10 homescooler pada Januari lalu. Pada Maret ini sudah 25 murid terdaftar di KSHS. Dan, 15-20 calon homeschooler yang antre sampai tahun ajaran mendatang. “HS di sini lebih terstruktur dengan ketentuan seminggu dua kali, selebihnya anak-anak belajar sendiri,” ujar Kak Seto menjelaskan.

Model pendidikan alternatif HS belakangan memang marak dipilih para orang tua. Sekadar menyebut contoh, Ratna Riantiarno dan Neno Warisman memilih model alternatif ini untuk pendidikan anak-anaknya. Seiring dengan meningkatnya minat orang tua terhadap model pendidikan alternatif ini, komunitas HS pun bermunculan. Selain KSHS, ada Komunitas Berkemas, Kerlip, Morning Star Academy, Komunitas Ibnu Amanah, juga Komunitas Kebun Main. Untuk memayungi berbagai komunitas HS ini, Kak Seto bersama Departemen Pendidikan Nasional kemudian menggagas lahirnya Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) pada 4 Mei 2006.

Salah satu anggota Asah Pena, Komunitas Berbasis Keluarga dan Masyarakat (Berkemas) diakui sang pendirinya, Yayah Komariah, kebanjiran permintaan HS. Berdiri tahun 2003, saat ini ada 55 homeschooler yang tersebar di berbagai kota. Menurut Yayah, ia sendiri tak mematok angka tertentu untuk biaya HS di tempatnya. “Terserah keikhlasan mereka,” katanya berkilah. Yang pasti, saat ini saban bulan ada orang tua yang memberi Rp 30 ribu, ada juga yang Rp 200 ribu. Sementara untuk ujian semester, ia mematok Rp 50 ribu untuk biaya pembuatan soal, di luar ongkos kirim untuk muridnya yang berada di luar kota.

Berkemas yang membuka untuk pengajaran setingkat SD dan berkantor di gang sempit di kawasan Pasar Minggu, diakui lulusan IKIP Jakarta ini, juga direspons para orang tua yang tinggal di Kalimantan. “Karena jarak jauh, saya hanya mengirimkan modulnya,” ujarnya.

Seperti juga Berkemas, Morning Star Academy Home Schooling (MSA HS) diakui pendirinya, Wanti Wowor, juga banyak mendapat permintaan. Dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, MSA HS yang melayani tingkatan SD sampai SMA saat ini memiliki sekitar 400 homeschooler. “Metode yang kami pakai merupakan adaptasi dari metode HS di luar negeri. Kami juga bekerja sama dengan Franklin Classical School di Amerika Serikat,” ungkap Wanti yang mendirikan MSA HS pada 2002.

Diakui Kak Seto, saat ini pihaknya juga tengah membina kerja sama dengan asosiasi HS di AS dan Australia. Seiring dengan permintaan HS yang makin banyak, Juli mendatang Kak Seto akan menerapkan program e-learning. Selain itu, KSHS juga akan diwaralabakan. “Sudah ada permintaan franchise dari Surabaya, Bandung, Semarang, Makassar, Batam, dan Denpasar,” katanya. Menurut Kak Seto, pada Mei-Juni mendatang akan ada pelatihan untuk tutor waralaba. “Sehingga Juli nanti, franchise sudah bisa berjalan,” kata Kak Seto yang tak mau menyebut biaya mengambil waralaba KSHS.

Sejatinya, Kak Seto tidak memikirkan dampak bisnisnya. Sistem waralaba ini dibuat lebih untuk menjaga kualitas HS supaya tidak melenceng. “Saya akan selektif memilih calon franchisee, yang jelas orientasinya tidak sekadar bisnis,” tuturnya. Pembagian keuntungan sendiri, 40% untuk KSHS dan 60% untuk franchisee-nya.

Menurut Dhanang Sasongko, Direktur Pengelola KSHS sekaligus Sekjen Asah Pena, modal awal untuk membangun komunitas HS sebesar Rp 20-25 juta. “Termasuk kecil karena tidak memerlukan perawatan gedung belajar,” katanya. KSHS memiliki fasilitas pertemuan para homeschooler di Salapa Knowledge Center dan rumah Kak Seto. “Sampai Maret ini kami sudah (mencapai) BEP (breakeven point),” katanya. Sampai Maret lalu, KSHS memiliki empat tutor.

KSHS mematok uang pangkal Rp 1,5 juta untuk level SD ataupun SMA. Adapun uang kegiatan untuk level SD Rp 1,5 juta dan untuk level SMA Rp 2 juta. Sementara iuran bulanan SD dipatok Rp 350 ribu dan SMA Rp 450 ribu. Untuk tahun ajaran baru yang dimulai Juli nanti, biaya-biaya ini tentu saja bisa berubah. Kalau orang tua menginginkan ada tutor yang datang ke rumah, ada biaya ekstra. Untuk tingkat SD, sekali seminggu Rp 440 ribu, dua kali seminggu Rp 800 ribu, dan tiga kali seminggu Rp 1 jutaan. Sementara untuk SMA, seminggu sekali Rp 520 ribu, dua kali seminggu Rp 880 ribu, dan tiga kali seminggu Rp 1,3 juta.

Reportase: Rias Andriati
HTS

1 comment:

Choi Family said...

Homeschool mudah dan murah, tidak perlu lembaga khusus dan tidak perlu bayar uang pangkal atau SPP. Caranya:
- kurikulum bebas, kalau ingin pakai kurikulum diknas bisa beli buku textbook yang beredar di pasaran, bekas juga tidak apa-apa - kalau perlu bimbingan belajar, cari bimbingan apa saja, TIDAK PERLU yang bermerek HS
- Untuk legalitas/ujian, cari PKBM di dekat tempat tinggal anda. PKBM jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia dan biasa menyelenggarakan ujian kesetaraan. Biayanya antara GRATIS sampai 100.000an rupiah saja. kalau biayanya jauh diatas itu, cari PKBM lain yang lurus