Monday, July 9, 2007

Koran Anak Pertama di Indonesia

Abednego Andito dan Angelina Andita punya kebiasaan rutin sebelum mengawali aktivitas hariannya. Murid SD di Jakarta ini selalu melahap koran anak yang sudah sampai di rumah mereka pada pukul 6 pagi. “Mereka membacanya sebelum berangkat sekolah,” ungkap sang ayah, A. Krisnawan, konsultan di Kantor Akuntan Publik A. Krisnawan dan Rekan.

Demikian pula Muhammad Baihaqi. Murid kelas 6 SD ini juga rajin membaca koran anak, termasuk kakaknya yang sudah kelas 3 SMP. Diakui Sofwan Hidayat, sang ayah, pihaknya memutuskan berlangganan koran anak karena tema-temanya aktual dan sarat pengetahuan umum. “Malah kalau sepupu-sepupu anak saya datang, koran anak itu jadi rebutan,” kata Sofwan, karyawan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Sejak pertengahan tahun lalu, media anak di Indonesia diramaikan oleh kehadiran Berita Anak Indonesia -- disingkat Berani -- yang tercatat sebagai koran anak pertama di Indonesia. Menurut sang pencetus, Henny Rahayu Witdarmono, Berani dibesut karena keprihatinannya terhadap minat baca anak Indonesia yang menurut Programme for International Student Assessment 2003, dari 40 negara yang diteliti, kemampuan membaca anak-anak Indonesia usia 9-14 tahun berada pada urutan terakhir. “Artinya, daya baca kita sangat rendah,” ungkap Henny yang bertindak sebagai pemimpin perusahaan.

Di bawah payung PT Anugerah Mitra Sharma Grha, lulusan American Banking Institute New York ini bersama sang suami, H. Witdarmono, yang lama berkecimpung di dunia media, sepakat menggulirkan Berani sebagai alternatif bacaan anak-anak. Diakui Henny, konsep koran anak sejatinya telah ada 8 tahun lalu saat ia masih bermukim di Amerika Serikat. Minat baca yang sangat tinggi di AS dan Eropa menggelitiknya untuk terjun ke bisnis media. Pilihan jatuh ke koran karena dalam pandangannya, koran yang terbit tiap hari bisa merangsang minat anak untuk membaca. Terlebih, belum ada yang menggarap koran anak. Di dunia tercatat hanya ada tiga negara yang memiliki harian khusus anak, yakni Jepang, Prancis, dan Indonesia.

Laiknya harian, Berani mengemas berbagai tema yang berbeda setiap hari. Rubrikasinya meliputi internasional, nasional, berita utama, resensi buku, olah raga, ilmu pengetahuan dan teknologi, juga mata pelajaran yang disesuaikan dengan usia segmen yang dibidik, yaitu anak-anak SD. Tema pelajaran disajikan secara bergiliran saban hari dengan bahasa sederhana yang bisa dicerna anak-anak usia 8-13 tahun. Awak redaksinya terdiri atas 18 orang, sementara total karyawan 40 orang. “Kami menyajikan berita yang layak dibaca anak. Kami tidak menyajikan berita-berita yang berbau politik dan kekerasan,” ungkap H. Witdarmono, Pemimpin Redaksi Berani. Dengan ukuran koran yang hanya 27 cm x 21 cm, menurutnya, Berani yang terbit 16 halaman (Senin-Jumat) memudahkan anak-anak membaca.

Untuk distribusinya, Henny memilih memfokuskan penjualan dengan cara berlangganan. Sampai saat ini belum terpikirkan olehnya mendistribusikan di lapak-lapak. “Daya tariknya tidak besar, jadi akan sulit bagi kios-kios untuk menjual,” ungkapnya memberi alasan. Saat ini, Berani memiliki 200 distributor atau agen yang tersebar di berbagai kota.

Dalam pandangan Dicky E.A., konsep berlangganan yang diusung Berani sudah tepat. “Lebih efisien karena tidak ada barang yang dikembalikan,” kata Dicky dari Ditamas Agency yang menyalurkan Berani untuk wilayah Pancoran, Pasar Minggu, Warung Buncit, Kalibata, dan sekitarnya. Saat ini ia berhasil menggaet 20 pelanggan. Menurutnya, angka tersebut sangat baik. “Untuk media baru termasuk lumayan,” ujarnya. Adapun Agen Friendship bisa merangkul 100 pelanggan. “Bahasa sederhana ala anak SD yang ditonjolkan Berani merupakan daya tariknya,” ungkap Laris Naiboho, pemilik Friendship yang juga Ketua Umum Yayasan Loper Indonesia.

Dengan mematok harga Rp 25 ribu/bulan untuk berlangganan atau Rp 2.000 untuk eceran, saat ini tercatat beberapa sekolah swasta menjadi pelanggan Berani. Departemen Pendidikan Nasional pun berlangganan, yang kemudian menyebarkannya ke SD-SD di tingkat kecamatan, kotamadya, dan provinsi. Tirasnya per hari, dikatakan Henny, mencapai 50 ribu eksemplar. Sampai saat ini ada 300 SD yang menjalin kerja sama dengan Berani.

Diakui Henny yang sempat berkarier di BRI New York dan PT Indofood Sukses Makmur, awalnya tidak mudah meyakinkan pihak sekolah dan para orang tua untuk menjadikan Berani sebagai bacaan bagi anak-anak mereka. Dengan pantang mundur, setelah berjalan setengah tahun, akhirnya respons positif pun mulai dipetik. Terutama, dari daerah. “Di daerah perkotaan, sulit untuk penetrasi pasar, tapi di daerah umumnya langsung merespons positif, mungkin di kota sudah banyak bacaan, ya,” tutur kelahiran 13 Desember 1961 ini.

Untuk memperluas jangkauan pasar, sejak Februari 2007 pihaknya berekspansi ke Toko Buku Gramedia. Jumlah yang dijual di seluruh TB Gramedia berkisar ratusan eksemplar. Sayang, ia tak mau menyebutkan jumlah yang terserap pasar lewat toko buku tersebut. Pelanggan terbesar saat ini ada di Jakarta, diikuti Surabaya, Bandung, Malang, dan kota-kota lain. Perbandingan antara pelanggan dan pengecer adalah 80:20.

Kalangan korporasi pun menjadi target perluasan pemasaran Berani. Dijelaskan Henny, saat ini Departemen Luar Negeri menggunakan berita Berani untuk mengedukasi masyarakat dengan menampilkannya di website Deplu, http://www.deplujunior.org/koran_berani.html. Mulai Maret 2007, pihaknya juga menjalin kerja sama dengan PT Astra Agro Lestari yang berlangganan Berani untuk diberikan gratis kepada anak-anak petani di perkebunan mereka. Kerja sama serupa dilakukan dengan Pemda Riau yang mencanangkan Riau Membaca. “Akan ada ratusan SD yang diajak berlangganan Berani. Setiap sekolah berlangganan sekitar 40 eksemplar,” ungkap Henny yang enggan membeberkan besar modal awal. Ia hanya mengatakan, hasil penjualan tahun ini harus bisa menutupi modal awal.

Reportase: Rias Andriati
HTS

No comments: